BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Chef Arnold Poernomo melontarkan kritik tajam terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah. Melalui akun X pribadinya, ia menilai meski konsep program ini baik, namun eksekusi di lapangan masih lemah hingga menimbulkan risiko besar bagi kesehatan masyarakat.
Menurut Chef Arnold, tujuan MBG untuk meningkatkan kualitas gizi dan menekan angka stunting seharusnya diimbangi dengan standar pengawasan yang ketat. Ia menyoroti maraknya kasus keracunan massal yang menimpa ribuan siswa di berbagai daerah akibat konsumsi paket makanan dari program tersebut.
“Programnya bagus, cuma eksekusinya kurang,” tulis Chef Arnold dalam unggahannya.
Ia juga menyayangkan dampak yang harus dirasakan anak-anak, orang tua, tim dapur, hingga tenaga medis akibat lemahnya pengawasan di lapangan.
Kritik ini muncul sebagai balasan atas cuitan warganet yang menilai Chef Arnold memiliki kompetensi untuk ikut memperbaiki kualitas MBG.
Seorang pengguna akun X bahkan mengingatkan bahwa juri MasterChef Indonesia tersebut pernah menganalisis menu dan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dari program serupa. Dukungan netizen pun mengalir agar ia dilibatkan dalam perbaikan program ini.
Tentang Program MBG
Program MBG resmi diluncurkan pada Januari 2025 di bawah pengawasan Badan Gizi Nasional (BGN). Sasaran utamanya adalah kelompok rentan, termasuk anak usia sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui, santri, serta masyarakat miskin.
Tujuan utama program ini meliputi peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat, penurunan angka stunting, mendukung tumbuh kembang anak, meningkatkan prestasi belajar, serta menggerakkan ekonomi lokal dengan melibatkan pelaku UMKM.
Baca Juga:
301 Siswa Keracunan, MBG di Bandung Barat Dihentikan Sementara
Usai Insiden Keracunan Massal, Wamen LHK Cicipi Menu MBG di Bandung
Kasus Keracunan Massal
Belakangan, implementasi MBG mendapat sorotan tajam setelah muncul laporan keracunan massal di berbagai wilayah Indonesia.
Kasus pertama tercatat pada Juli 2025 di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebelum meluas ke sedikitnya 16 provinsi termasuk Garut dan Bandung Barat.
Ribuan siswa menjadi korban, dengan dugaan penyebab mulai dari kontaminasi mikrobiologis, bahan kimia berbahaya, pengolahan yang tidak higienis, hingga lamanya jeda antara proses produksi dan distribusi makanan.
(Hafidah Rismayanti/_Usk)