KUNINGAN, TEROPONGMEDIA.ID — Jika seni adalah cermin jiwa sebuah masyarakat, maka Tari Buyung dari Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, adalah pancaran rasa syukur, keselarasan dengan alam, dan kekuatan perempuan Sunda yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, tarian ini tetap menari dalam diam, setia pada makna leluhurnya, meski nyaris terlupakan oleh generasi kini.
Tari Buyung bukan sekadar pertunjukan estetika. Ia adalah bagian dari ritual adat Seren Taun, sebuah tradisi agraris tahunan yang diselenggarakan masyarakat adat Cigugur sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen dan harapan akan kesuburan tahun mendatang.
Dalam tarian ini, sekelompok perempuan muda berjalan dengan langkah anggun sambil membawa buyung, kendi tanah liat berisi air, di atas kepala mereka. Air tersebut melambangkan berkah, kesuburan, dan kehidupan.
Menurut Khoeyriah (2018), kekuatan utama Tari Buyung terletak pada daya tarik filosofis dan simbolisnya yang kuat. Tarian ini bukan sekadar atraksi wisata, melainkan representasi dari nilai kearifan lokal, penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan, serta peran penting perempuan dalam menjaga harmoni sosial dan spiritual masyarakat Sunda.
Setiap gerakan dalam Tari Buyung mengandung makna, langkah pelan yang penuh kehati-hatian, posisi tubuh yang tegak sambil menyeimbangkan kendi di kepala, dan ekspresi tenang penari mencerminkan ketulusan serta kesabaran yang dijunjung tinggi dalam budaya agraris Sunda. Tak jarang, pertunjukan ini diiringi oleh musik tradisional dan doa adat, menjadikannya sebagai prosesi sakral yang menyentuh sisi spiritual penontonnya.
Namun, pandemi COVID-19 sempat menguji keberlanjutan tarian ini. Dalam studi Caturwati, Subiantoro, dan Elisandy (2020), disebutkan bahwa pembatasan kegiatan adat dan kerumunan membuat pertunjukan Tari Buyung terhenti selama beberapa waktu.
Meski demikian, masyarakat adat dan seniman lokal tidak tinggal diam. Mereka mencoba beradaptasi dengan membuat dokumentasi digital, pertunjukan terbatas tanpa penonton, hingga pelatihan daring untuk para penari muda—sebuah bentuk inovasi tanpa meninggalkan nilai orisinalitasnya.
Kini, meski tak sepopuler tarian kontemporer atau viral di media sosial, Tari Buyung tetap hadir sebagai napas budaya yang mengalir pelan, namun pasti. Upaya pelestarian terus dilakukan, termasuk menjadikannya bagian dari promosi wisata budaya Kabupaten Kuningan, serta pengenalan tari ini di sekolah-sekolah dan komunitas seni lokal.
BACA JUGA
Nata Daya, Program Penguatan Seni Budaya di Kabupaten Kuningan
Apple Posting ‘Ratoh Jaroe’, Tarian Seribu Tangan Tradisi Aceh
Tari Buyung adalah bukti bahwa seni tradisi tidak pernah benar-benar mati. Ia mungkin tak selalu terlihat, tapi tetap hidup dalam ruang-ruang yang menjaga kesakralannya. Di Cigugur, kendi terus diangkat, langkah terus diayun, dan doa terus disampaikan—menjadikan tarian ini sebagai warisan yang tak hanya indah dipandang, tapi juga dalam dimaknai.
Sumber: Caturwati, E., Subiantoro, I. H., & Elisandy, T. (2020). Tari Buyung Cigugur Kuningan di Masa Pandemi. Panggung; Khoeyriah, C. S. S. (2018). Daya Tarik dan Pelestarian Tari Buyung Sebagai Potensi Wisata Budaya di Kabupaten Kuningan.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)