JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Belum lama ini, isu kenaikan gaji dan tunjangan DPR memantikan gelombang reaksi publik. Sehingga banyak yang mendesak untuk bubarkan DPR karena dinilai tidak sepatutnya. Bahkan, kritikan itu langsung dijawab oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni.
Ia menyebut, para pengkritik itu bermental ‘orang tolol sedunia’ karena dianggap berlebihan.
“Orang yang cuman mental bilang bubarin DPR, itu adalah orang tolol sedunia,” ucap dalam unggahan video yang beredar di media sosial, dikutip Senin (25/08/2025).
Namun, Ahmad Sahroni menegaskan, DPR terbuka dengan kritik publik tetapi dengan tidak berlebihan hingga melontarkan kata-kata kasar.
“Ini kadang-kadang ya, masyarakat boleh kritik, boleh komplain boleh caci maki, nggak papa, kita terima, tapi ada adat istiadat yang mesti sampaikan. Kita boleh dikritik, mau bilangin ang, bi, ban**t, nggak papa, mampus-mampus nggak papa. Silakan kritik, mau ngapain juga boleh, tapi jangan mencaci maki berlebihan, itu karena merusak mental manusia, mental manusia yang begitu adalah orang tertolol sedunia, catat nih,” jelas Sahroni.
Masa Diambang Pembubaran DPR
Tidak luput dari riwayat sejarah lembaga itu, parlemen nyaris dibubarkan saat era kepemimpinan Presiden Soekarno dan Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam perjalanannya sebagai lembaga legislatif negara pernah mengalami momen kritis hingga hampir dibubarkan oleh presiden yang sedang menjabat.
BACA JUGA:
Ketimpangan Sosial Gaji DPR, Said Iqbal: Inilah Wajah Ketidakadilan!
Kritik Publik Bubarkan DPR, Lontaran Tajam Sahroni: Itu Orang Tolol Sedunia!
Situasi ini terjadi ketika hubungan antara eksekutif dan legislatif berada dalam titik konflik. Tercatat, dua peristiwa penting mencerminkan ketegangan tersebut: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Dekrit Presiden 23 Juli 2001.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang merupakan tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan, memutuskan membubarkan DPR pada tahun 1960. Langkah ini diambil setelah Pemilu pertama Indonesia yang berlangsung pada tahun 1955 di bawah pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap.
Melansir berbagai sumber, Pemilu 1955 dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota DPR dan tahap kedua untuk memilih anggota Konstituante. Partai Nasional Indonesia (PNI) memenangkan pemilu tersebut dengan perolehan 8.434.653 suara dalam pemilihan DPR dan 9.070.218 suara dalam pemilihan Konstituante.
Meski PNI meraih hasil signifikan, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang salah satu isinya menyatakan pembubaran Konstituante dan bahwa DPR hasil Pemilu 1955 masih dapat melanjutkan tugasnya berdasarkan UUD 1945. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu DPR harus menyetujui semua kebijakan pemerintah hingga terbentuknya DPR baru.
Salah satu tuntutan dari pemerintah kepada DPR adalah penerapan sistem Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem ini, seluruh kendali pemerintahan berpusat pada presiden, yang saat itu dijabat oleh Soekarno. Konsekuensinya, lembaga-lembaga negara seperti DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA tidak lagi memiliki fungsi sebagaimana mestinya.
Selain itu, Soekarno juga ingin menghapus sistem multipartai. Salah satu dampaknya adalah dibubarkannya Partai Masyumi.
Partai ini kemudian melakukan penolakan terhadap RAPBN 1961 yang diajukan presiden. Penolakan tersebut membuat Soekarno mengambil langkah tegas dengan membubarkan DPR karena dianggap tidak mendukung program pemerintah.
Pembubaran itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa:
-
DPR hasil Pemilu 1955 dianggap tidak mampu membantu pemerintahan
-
Tidak sejalan dengan UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, serta arah politik nasional
Sebagai gantinya, Presiden Soekarno menetapkan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1960 yang membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR).
Dalam sistem ini, seluruh anggota DPR-GR ditunjuk langsung oleh Soekarno, termasuk pejabat militer, kepala daerah, dan lainnya. Sistem Demokrasi Terpimpin ini mengarah pada pemerintahan otoriter.
Dekrit Gus Dur
Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid Alias Gus Dur, sempat mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001. Tujuan utama dari dekrit tersebut adalah untuk menjaga stabilitas nasional di tengah ketegangan politik dan mempertahankan posisinya sebagai kepala negara.
Sebelum dekrit itu muncul, hubungan antara Gus Dur dan DPR sudah memanas. Gaya kepemimpinan Gus Dur yang dianggap tidak konvensional menjadi salah satu sumber ketegangan. Dikutip dari Kompas.com, Rabu (3/4/2024), DPR sempat membentuk Panitia Khusus yang menyoroti dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dolar AS.
Gus Dur juga dikaitkan dengan dugaan penggunaan dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam senilai 2 juta dolar AS.
Ia kemudian dianggap melanggar Pasal 9 UUD 1945 mengenai sumpah jabatan serta TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Akibatnya, MPR menjadwalkan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Gus Dur dari jabatannya. Namun, sebelum sidang tersebut digelar, Gus Dur mengeluarkan Dekrit Presiden pada dini hari tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.30 WIB di Istana Merdeka, Jakarta.
Isi dekrit tersebut mencakup tiga poin utama:
-
Membekukan MPR dan DPR
-
Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat serta membentuk badan penyelenggara pemilu dalam satu tahun
-
Membekukan Partai Golkar sambil menunggu putusan Mahkamah Agung
Namun, langkah Gus Dur tidak diakui oleh MPR. Sidang Istimewa tetap dilaksanakan dan dipimpin oleh Amien Rais.
Pada hari yang sama, yakni 23 Juli 2001, Gus Dur resmi diberhentikan dari jabatan presiden oleh MPR, meskipun tuduhan pelanggaran hukum yang dilayangkan terhadapnya tidak pernah terbukti di pengadilan.
(Saepul)