BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menindaklanjuti laporan terkait dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh sejumlah mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat S.I.K., menyampaikan bahwa pihaknya telah memulai proses penyelidikan terhadap kasus tersebut, yang melibatkan seorang dosen sebagai pihak terlapor.
“Iya, kami akan tindak lanjuti laporan dengan melakukan penyelidikan,” ujar Kombes Pol. Syarif Hidayat dalam keterangannya, dikutip Rabu (21/5/2025)
Para korban secara resmi melaporkan kasus tersebut dengan didampingi oleh tim Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB pada Selasa sore. Hingga pukul 20.00 WITA, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan secara intensif terhadap korban yang hadir langsung untuk memberikan kesaksian.
Dilaporkan bahwa terdapat dua korban yang mengajukan laporan, serta satu orang saksi yang turut memberikan keterangan kepada penyidik dari Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB.
“Jadi, korban yang lapor bukan tiga, melainkan dua. Yang satunya lagi saksi,” jelas Kombes Pol. Syarif.
Sementara itu, perwakilan KSKS NTB, Joko Jumadi, yang turut mendampingi para korban dalam proses pelaporan menyatakan bahwa dugaan pelecehan dilakukan oleh seorang dosen UIN Mataram yang menjabat sebagai kepala asrama putri.
Joko menambahkan, berdasarkan hasil pendataan timnya, terdapat tujuh mahasiswi yang menjadi korban dari dugaan tindakan tidak senonoh tersebut. Namun, hanya lima orang yang bersedia memberikan kesaksian secara langsung kepada aparat penegak hukum.
“Peristiwa ini terjadi sejak 2021 hingga 2024. Kejadiannya berlangsung pada malam hari, dan semua berlokasi di Asrama Putri UIN Mataram,” ujar Joko.
Baca Juga:
Rektor UMS Berhentikan Dosen Terduga Pelecehan Seksual, Ini Kronologinya
Diduga Lakukan Pelecehan Sesama Jenis, Dosen Mataram Ditahan
Diduga, pelaku menyalahgunakan jabatannya sebagai kepala asrama untuk melakukan perbuatan tidak bermoral dengan berlindung di balik kekuasaan administratif. Sejumlah korban enggan melawan karena merasa terancam, terutama dengan kemungkinan dicabutnya beasiswa mereka.
“Sebagian besar korban adalah penerima beasiswa Bidikmisi. Ancaman seperti pencabutan beasiswa membuat mereka takut dan memilih menuruti pelaku,” tandas Joko.
(Virdiya/Budis)