JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji ulang skema tax holiday seiring dengan penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen yang akan mulai berlaku pada tahun 2025.
Pajak minimum global ini merupakan bagian dari kesepakatan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), yang dirancang untuk mencegah perusahaan multinasional mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan pajak rendah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu, mengatakan, meskipun kebijakan tax holiday akan tetap ada, pemerintah harus menyesuaikan skema tersebut agar sesuai dengan ketentuan pajak minimum 15 persen.
“Tax holiday tetap ada, tetapi ada penyesuaian dengan konteks pajak minimum 15 persen,” kata Febrio di Jakarta, melansir Antara, Sabtu (5/10/2024).
Saat ini, Pajak Penghasilan (PPh) Badan di Indonesia ditetapkan sebesar 22 persen.
Dengan penerapan pajak minimum global, pembebasan pajak yang dapat diberikan pemerintah akan dibatasi hingga 7 persen.
Artinya, perusahaan yang mendapatkan tax holiday di Indonesia tetap harus membayar pajak sebesar 15 persen agar tidak dikenai pajak tambahan oleh negara asalnya.
Febrio juga mengakui bahwa kebijakan ini bisa mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi, mengingat perusahaan multinasional yang sebelumnya menikmati pembebasan pajak penuh, kini harus membayar setidaknya 15 persen pajak.
Namun, langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa hak atas pajak tetap diperoleh Indonesia dan tidak diambil oleh negara asal perusahaan.
“Jika kita terapkan pembebasan pajak sampai 0 persen, maka 15 persennya akan dipungut oleh negara asal. Itu sama saja kita menyubsidi APBN negara lain,” jelas Febrio.
BACA JUGA: Kontribusi Pajak Kelas Menengah Dibawah 1 Persen, Kemenkeu Klarifikasi Lagi?
Sebagai pengganti tax holiday penuh, pemerintah berencana mencari insentif alternatif, terutama insentif fiskal, untuk mengkompensasi dampak dari kebijakan pajak minimum ini.
“Bentuknya bukan lagi tax holiday hingga 0 persen, tetapi hingga 7 persen sesuai konteks Indonesia,” tambahnya.
Kebijakan pajak minimum global ini diinisiasi oleh OECD/G20 Inclusive Framework untuk menanggulangi praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional dengan pendapatan global di atas 750 juta euro.
Dengan skema ini, jika suatu perusahaan dikenakan pajak di bawah 15 persen di suatu negara, negara asalnya dapat menambahkan pajak tambahan (top-up tax) hingga mencapai tarif minimum 15 persen.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan internasional dan meningkatkan penerimaan pajak, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang selama ini mengalami penggerusan basis pajak oleh perusahaan-perusahaan besar multinasional.
(Budis)