JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi karyawan/buruh yang menjadi kewajiban perusahaan swasta, Selasa (11/03/2025).
Aturan itu untuk membantu pekerja/buruh dalam memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga saat menyambut Hari Raya Keagamaan. Adapun aturannya, tertuang dalam SE Menaker No. M/2/HK.04.00/III/2025 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Kewajiban Perusahaan Membayar Hak THR untuk Karyawan
Melasnir berbagai sumber, kewajiban perusahaan untuk memberikan THR keagamaan kepada karyawan atau buruh, dengan memperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Pekerja/Buruh yang Berhak Menerima
Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja minimal 1 (satu) bulan secara terus-menerus atau lebih.
Pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha, baik berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu maupun perjanjian kerja waktu tertentu.
BACA JUGA:
Mekanisme THR PNS, Perlukah Dihubungkan dengan Kinerja?
Cair Mulai 17 Maret, Sri Mulyani Gelontorkan Rp 49,4 Triliun untuk Bayar THR PNS
2. Waktu Pembayaran
THR Keagamaan wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
3. Besaran Kewajiban
Bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih secara terus-menerus, diberikan THR sebesar 1 (satu) bulan upah.
Bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 (satu) bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan THR secara proporsional sesuai perhitungan:
(Masa Kerja : 12) x 1 (satu) bulan upah.
4. Perhitungan untuk Pekerja/Buruh dengan Perjanjian Kerja Harian Lepas:
Pekerja/buruh yang telah memiliki masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan.
Pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.
5. Bagi Pekerja/Buruh dengan Upah Berdasarkan Satuan Hasil:
Upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima selama 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan.
6. Besaran Berdasarkan Perjanjian Kerja
Jika perusahaan menetapkan besaran nilai THR Keagamaan lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam peraturan ini (misalnya dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama), maka besaran THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh mengikuti kesepakatan tersebut.
7. Ketentuan Pembayaran THR
THR Keagamaan wajib dibayarkan oleh pengusaha secara penuh dan tidak boleh dicicil.
Sanksi untuk Perusahaan Jika Karyawan Tak Diberikan Realisasi
Lantaran menjadi kewajiban untuk perusahaan dan hak untuk karyawan, maka pepmbayaran tunjangan keagamaan ini harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Adapun aturan yang melindungi hak ini, da;am Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Pada aturan itu tertuang, perusahaan harus merealisasikan THR selambat-lambatnya pada H-7 sebelum hari raya keagamaan. Namun, praktiknya, setiap tahunnya ada perusahaan yang tidak membayarkan THR sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Misalnya, pada tahun lalu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menerima 1.988 laporan terkait THR, yang terdiri dari 1.050 konsultasi dan 938 pengaduan yang masuk pada periode 28 Maret hingga 15 April 2023.
Maka dari itu, perusahaan bisa terkena sanksi tegas sesuai dengan ketentuan yang ada. Dalam Pasal 62 PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenaker 6 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pengusaha yang terlambat membayar THR kepada karyawan dikenakan denda sebesar 5 persen dari total yang harus dibayar, terhitung sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar THR, yakni 7 hari sebelum hari raya keagamaan.
Akan tetapi, perlu menjadi catatan pengenaan sanksi denda ini tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja atau buruh.
Sementara itu, Pasal 79 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan menyebutkan bahwa pengusaha yang tidak membayar THR kepada pekerja/buruh juga dikenai berbagai sanksi administratif, seperti teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Tidak hanya denda, pengusaha yang tidak membayar THR juga bisa terkena sanksi administratif lainnya, seperti teguran tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Pembayaran Lebih Besar dari Ketentuan
Bagi perusahaan yang membayar THR lebih besar dari ketentuan yang diatur dalam peraturan di atas, maka THR yang dibayarkan kepada pekerja/buruh harus sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB).
Jika perusahaan tidak mampu membayar THR sesuai dengan ketentuan yang berlaku, penyelesaian perselisihan dapat dilakukan secara kekeluargaan (bipartit) antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Bila kesepakatan masih belum menemui hasil, maka perselisihan dapat diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh mediator yang netral.
Jika mediasi tetap gagal, pekerja/buruh bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2024 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
(Saepul/Aak)