BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam catatan sejarah, ada sosok Ketua DPR RI periode 1971-1977 bernama KH Idham Chalid yang dikenal sebagai legislator “termiskin” karena tidak pernah bernafsu dengan berbagai tunjangan, fasilitas keluarga, ataupun mobil dinas.
Ironisnya, para anggota DPR RI periode 2024-2029, bikin ulah yang sontak memancing kemarahan publik setelah berjoget, girang kesenangan usai gajinya dinaikkan menjadi Rp100 juta perbulan. Gaji bersih ini belum termasuk tunjangan perumahan Rp50 juta dan sejumlah fasilitas mewah lainnya.
Ratusan legislator tersebut menari mengiringi lagu daerah “Sajojo” dan “Fa Mi Re” pada sesi penutupan sidang, Jumat (15/8/2025). Kelimpahan harta bagi para wakil rakyat ini diumumkan dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD.
Profil KH Idham Chalid
Jabatan yang diemban Idham Chalid sangatlah prestisius. Idham Chalid juga pernah menduduki posisi sebagai Wakil Perdana Menteri RI, Menteri Kesejahteraan Rakyat, Ketua DPR, hingga Ketua MPR. KH Idham Chalid juga tercatat sebagai Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama (NU) terlama dalam sejarah organisasi tersebut, yakni selama 28 tahun pada periode 1956–1984.
Mengutip Instagram @merindink, meski Idham Chalid menduduki berbagai jabatan tinggi negara dari menteri hingga Ketua DPR/MPR RI, tetapi hidupnya sangat sederhana. Ia dikenal sebagai sosok yang jujur dan tak silau dengan jabatan.
Idham Chalid bahkan “mengharamkan” keluarganya menggunakan fasilitas negara. Keluarganya pun jika bepergian hanya menggunakan kendaraan umum metromini. Anak-anaknya bahkan berjualan nasi dan air untuk menunjang kehidupan mereka.
Setelah pensiun dari dunia politik, Idham memilih untuk memimpin pondok pesantren di Cipete Selatan serta mengelola rumah yatim di Cisarua. Ia juga aktif mengajar para santri dan murid secara langsung dari kediamannya.
Idham Chalid meninggal dunia pada 11 Juli 2010 dalam usia 88 tahun. Untuk menghormati jasa-jasanya, Bank Indonesia mengabadikan sosoknya pada pecahan uang kertas Rp5.000.
Dari Pesantren ke Puncak Kekuasaan
Tak banyak tokoh bangsa yang namanya terpampang di mata uang negara. Salah satunya adalah KH Idham Chalid, mantan Ketua MPR/DPR yang justru tercatat sebagai anggota dewan ‘termiskin’ sepanjang sejarah Republik. Namun, kemiskinan materi itu berbanding terbalik dengan kekayaan jasa dan pengabdiannya untuk negeri.
Idham Chalid, yang lahir di Satui, Kalimantan Selatan, pada 27 Agustus 1921, adalah teladan kesederhanaan. Meski berasal dari kalangan terpandang, ajaran ayahnya, seorang penghulu, menanamkan padanya bahwa kemuliaan seseorang bukan terletak pada keturunan, melainkan pada amal dan bakti.
Kecerdasannya sudah terlihat sejak kecil. Saat masuk Sekolah Rakyat (SR), ia langsung ditempatkan di kelas dua. Bakat orasinya pun mulai bersinar sejak usia dini.
Jejak pendidikannya berlanjut ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah dan kemudian Pesantren Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Di Gontor, ia menguasai setidaknya lima bahasa asing: Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Prancis. Kemampuan bahasa Jepangnya yang fasih membuatnya kerap menjadi penerjemah bagi pemerintah pendudukan Jepang, membawanya berkenalan dengan para tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang kelak menjadi jalan hidupnya.
Karier politiknya melejit cepat. Usai kemerdekaan, ia bergabung dengan perjuangan di Kalimantan dan menjadi anggota parlemen. Pada 1952, ia memilih bergabung dengan NU setelah partainya memisahkan diri dari Masyumi. Dua tahun kemudian, di usia yang masih sangat muda, ia sudah menjadi wakil ketua partai.
Puncaknya terjadi pada Muktamar NU ke-21 di Medan tahun 1956. Di usia yang baru menginjak 34 tahun, Idham Chalid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, sebuah posisi yang dipegangnya selama 28 tahun hingga 1984—menjadikannya ketua terlama dalam sejarah organisasi tersebut.
Bukan hanya di NU, kariernya di pemerintahan juga cemerlang. Ia dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Di era Orde Baru, meski banyak tokoh lama tumbang, posisinya tetap kokoh. Ia menjabat sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat, bahkan merangkap sebagai Menteri Sosial ad interim.
Ketika partai-partai Islam dilebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Idham Chalid pun dipercaya sebagai presiden partainya yang pertama. Ia juga memegang jabatan strategis sebagai Ketua MPR/DPR RI periode 1971-1977 dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
BACA JUGA
Joget-joget di Sidang Tahunan MPR Berujung Hujatan, Eko Patrio Ngaku Kapok
2 Tersangka Korupsi Anggota DPR, Bangun Bisnis dari Duit Hasil Korup!
Yang membuatnya istimewa adalah integritasnya di tengah gemerlap kekuasaan. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tercatat menempatkannya sebagai anggota DPR ‘termiskin’ sepanjang sejarah. Sebuah ironi yang justru mengukuhkan namanya sebagai politisi yang bersih dan tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri.
Dedikasinya tidak hanya di dunia politik. Ia mendirikan Universitas Islam Nusantara (awalnya UNNU) dan Pesantren Rasyidiah Khalidiah (Rakha) di Amuntai, Kalimantan Selatan, yang telah berusia lebih dari seabad.
Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Lima tahun kemudian, penghormatan tertinggi datang: wajahnya menghiasi uang kertas pecahan Rp5.000 yang diluncurkan Bank Indonesia, mengukuhkannya sebagai pahlawan yang dikenang setiap hari oleh seluruh rakyat Indonesia.
Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010, meninggalkan warisan yang tak ternilai: keteladanan tentang seorang politisi yang meninggalkan kekayaan materi, tetapi kaya akan jasa dan pengabdian.
(Aak)