BANDUNG,TM.ID: Paylater bikin susah cari kerja dan beasiswa jika memiliki tunggakan. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan dampak nyata tunggakan BNPL yang berasal dari anak muda sudah terlihat, yakni membuat mereka sulit mendapatkan pinjaman-pinjaman untuk hal-hal yang lebih penting.
Frederika menjelaskan, bahwa nilai pinjamannya ada yang sebesar Rp 300.000 hingga Rp 400.000. Meskipun terbilang kecil, pinjaman-pinjaman yang kemudian menjadi tunggakan itu membuat credit score seseorang menjadi buruk.
“Terus kemudian mereka kadang mau melunasi tunggakannya sudah tutup. Kadang-kadang jadi masih gantung, mau dihubungi susah dan lain-lain. Jadi itu mesti hati-hati, itu nyata di sekitar kita,” jelasnya kepada wartawan, Senin (21/8/2023).
BACA JUGA : Cara Bijak Menggunakan Paylater Saat Lebaran
Friderica menambahkan, credit score buruk juga akan menyulitkan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan beasiswa. Sejumlah lembaga beasiswa dan perusahaan memerhatikan riwayat kredit para calon karyawan dan pencari beasiswa.
“Itu bahayanya gitu, jadi ya masyarakat harus siap,” kata Friderica
Ke depan data-data skor kredit akan semakin terintegrasi. Saat ini OJK tengah menggodok pembentukan pusat data fintech lending (Pusdafil), sehingga seluruh riwayat pinjaman seseorang di perbankan hingga fintech dapat terlihat.
“Beberapa bank kemarin mengeluhkan tanda kutip ke kami ini, anak-anak muda banyak yang harusnya ngajuin KPR rumah pertama, tapi tidak bisa karena ada utang di paylater,” ujarnya
Sebagai informasi, SLIK berisi soal riwayat pinjaman debitur, termasuk mengenai kelancaran angsuran. Artinya, platform P2P lending dapat melihat credit scoring dari seseorang.
“Bagusnya semua terintegrasi, nggak bagusnya buat mereka yang bermasalah di pinjol itu masuk ke SLIK,” katanya.
Pemahaman Literasi Keuangan
Meningkatkan pemahaman atau literasi keuangan di Indonesia masih menjadi satu pekerjaan rumah utama semua pihak yang berkepentingan. Masalahnya tingkat inklusi atau kemudahan akses berbagai produk keuangan yang saat ini terbilang tinggi (86%) tidak diikuti dengan tingkat literasi keuangan.
Dalam catatan pemerintah, literasi keuangan Indonesia masih berada di kisaran 50%. Artinya masih banyak masyarakat yang memiliki kemudahan akses produk finansial, tetapi tidak mengerti secara komprehensif mengenai produk tersebut.
(Usamah)