BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Peraturan jam malam dalam sejarahnya yang panjang tidak sekadar sebuah larangan keluar malam. Ia menjelma cermin dari dinamika kekuasaan, kekhawatiran sosial, dan cara negara mengatur warganya dalam menghadapi krisis.
Dari Eropa abad pertengahan yang dilanda ketakutan akan kerusuhan dan kriminalitas, hingga penerapannya di Indonesia oleh kepala daerah seperti Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, jam malam selalu hadir dalam simpul ketegangan antara kebebasan individu dan kebutuhan akan ketertiban kolektif.
Abad Kegelapan
Konsep jam malam atau “curfew” berasal dari istilah Prancis kuno “couvre-feu,” yang berarti “menutupi api.” Pada abad pertengahan, penguasa di banyak kota Eropa mewajibkan warga memadamkan api dan tetap berada di dalam rumah saat malam tiba. Tujuannya bukan hanya menghindari kebakaran, tapi juga menjaga ketertiban sosial di tengah absennya penerangan umum dan lemahnya pengawasan malam hari.
Kota yang gelap adalah kota yang rawan. Maka, jam malam dipandang sebagai alat proteksi kolektif!
Namun, peraturan ini tak hanya teknokratik Ia juga simbolik. Ia memberi sinyal bahwa malam adalah milik negara, bukan individu. Kekuasaan tidak hanya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi juga kapan seseorang boleh hadir di ruang publik.
Jam Malam dan Ketakutan Modern
Memasuki abad ke-20, peraturan jam malam menjadi lebih identik dengan kondisi darurat. Dalam konteks perang, kudeta, atau ketegangan politik, aturan ini digunakan sebagai instrumen pengendalian massa. Di bawah rezim otoriter, peraturan ini kerap menjadi cara membungkam perlawanan seperti yang terjadi di banyak negara dunia ketiga pada era Perang Dingin.
Indonesia tidak lepas dari tradisi ini. Di masa penjajahan Belanda maupun Jepang, jam malam diberlakukan demi menjaga dominasi penguasa kolonial. Pasca-kemerdekaan, terutama selama masa Orde Baru, peraturan serupa sering diberlakukan secara tidak resmi untuk menertibkan “daerah merah” atau kawasan yang dianggap rawan.
Dalam banyak kasus, aparat keamanan menjadi penentu siapa yang boleh dan tidak boleh hadir di ruang publik setelah matahari terbenam.
Demokrasi dan Ruang Publik
Dengan datangnya era reformasi, eksistensi jam malam mengalami pergeseran makna. Di satu sisi, ia mulai ditolak sebagai bentuk pelanggaran kebebasan sipil. Namun di sisi lain, muncul argumen-argumen baru yang mencoba melegitimasi aturan ini, terutama dalam konteks perlindungan anak dan ketertiban remaja.
Inilah yang terjadi saat era Dedi Mulyadi, saat menjabat sebagai Bupati Purwakarta dan kemudian Gubernur Jawa Barat, mengusulkan aturan pembatasan aktivitas malam bagi remaja. Jam malam yang semula diasosiasikan dengan militerisasi ruang sipil, kini dibungkus dengan narasi kultural dan moral. Dedi menyebut kebijakan tersebut sebagai bagian dari “pendidikan karakter” dan perlindungan generasi muda dari pergaulan bebas, geng motor, dan bahaya narkotika.
Antara Moralitas dan Otoritarianisme
Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Dalam masyarakat demokratis, pembatasan ruang publik harus melewati uji proporsionalitas. Apakah larangan keluar malam benar-benar solusi terbaik untuk masalah sosial remaja? Apakah negara boleh mengambil alih peran keluarga dan komunitas dalam mendidik anak-anak mereka?
Jam malam dalam konteks ini, berisiko menjadi instrumen moralistik yang membenarkan tindakan represif atas nama ketertiban. Kecenderungan ini sangat nyata di berbagai daerah di Indonesia, di mana aparat kadang bertindak tanpa dasar hukum yang kuat, hanya berbekal “imbauan” kepala daerah.
Baca Juga:
Pelajar Bekasi Kritik Kebijakan Jam Malam “Tidak Semua yang Keluar Malam Negatif“
Menimbang Kembali Peran Negara
Sejarah panjang jam malam menunjukkan satu hal: bahwa kekuasaan negara atas ruang publik selalu menghadapi tarik-menarik antara ketertiban dan kebebasan.
Di tangan pemimpin yang bijak, jam malam bisa menjadi alat proteksi sementara. Namun di tangan yang otoriter, ia bisa berubah menjadi sarana pembungkaman.
Dalam konteks Indonesia modern, kita membutuhkan diskursus yang lebih kritis atas kebijakan semacam ini. Jam malam tidak boleh menjadi jalan pintas untuk menutupi kegagalan negara dalam menyediakan pendidikan, pencahayaan jalan, lapangan kerja bagi remaja, atau akses ke ruang-ruang aman.
Jam malam dari era Dark Ages hingga era Dedi Mulyadi telah berevolusi dari alat proteksi teknis menjadi simbol kuasa negara atas malam hari. Meski tujuannya kadang mulia, kita tidak boleh melupakan bahwa di balik tiap larangan keluar malam, ada narasi kekuasaan yang patut dikaji ulang.
Kita berhak menuntut kebijakan yang bukan hanya melarang, tapi juga melindungi dengan adil, transparan, dan berdasar bukti!
*Opini ini sepenuhnya merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan kebijakan redaksi Teropong Media.
(Dist)