BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Nama Zayyid Sulthan Rahman, atau yang lebih akrab disapa Atan, kini semakin ramai diperbincangkan di lingkungan Universitas Indonesia. Ia bukan hanya sekadar mahasiswa aktif, tetapi juga figur yang tampil berani di garis depan pergerakan mahasiswa.
Kehadirannya di ruang publik selalu diwarnai dengan kritik tajam terhadap kebijakan kampus maupun pemerintah. Sosoknya menjadi simbol oposisi dari kalangan mahasiswa, terutama melalui kiprahnya sebagai Ketua BEM UI Kuning, yang dikenal sebagai tandingan dari BEM UI versi rektorat atau yang disebut BEM UI Ungu.
Menurut profil yang tercatat di SignalHire, perjalanan organisasi Zayyid tidaklah singkat. Ia memulai kiprah kepemimpinannya dari BEM FISIP UI. Pada Januari hingga November 2024, ia menjabat sebagai Ketua BEM FISIP UI, setelah sebelumnya sempat menjadi Wakil Kepala Bidang Riset Strategis dan Aksi serta staf di bidang yang sama.
Pengalaman tersebut membentuk dirinya sebagai aktivis yang terbiasa dengan kajian kritis, advokasi, hingga pengorganisasian massa. Dari sanalah pijakan awalnya menuju kepemimpinan di tingkat universitas dimulai. Sejak Juni 2025, Zayyid resmi memimpin BEM UI Kuning, sebuah posisi yang kemudian menempatkannya dalam sorotan luas.
Kepemimpinan Zayyid di BEM UI Kuning makin menonjol setelah ia mengeluarkan ajakan aksi besar pada 29 Agustus 2025. Dalam pernyataannya, ia menyebut kondisi Indonesia saat ini sebagai sebuah wake up call, tanda peringatan bahwa bangsa ini membutuhkan perubahan segera. Sikap kerasnya ini menunjukkan bahwa ia bukan tipe pemimpin yang memilih diam, melainkan seorang mahasiswa yang percaya bahwa gerakan kolektif mampu mendorong perubahan nyata.
Tidak hanya fokus pada isu nasional secara umum, Zayyid juga berani menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah daerah. Ia menuntut mundurnya Bupati Pati karena kebijakan kenaikan PBB yang dinilainya meremehkan aspirasi masyarakat. Dalam pernyataannya yang tegas, Zayyid menyebut sang bupati sudah berubah menjadi “pengecut, bukan pejabat”. Ucapan tersebut memperlihatkan bagaimana dirinya tidak ragu melawan otoritas, bahkan di luar lingkup kampus sekalipun.
Kritik Zayyid juga kerap ditujukan pada tindakan represif aparat. Ia menyusun lima butir sikap yang menegaskan posisi mahasiswa UI dengan mengecam segala bentuk penindasan, menuntut pertanggungjawaban aparat, menolak pembungkaman media, serta menggalang solidaritas antarmahasiswa. Pernyataan tersebut menjadi gambaran jelas gaya kepemimpinannya yang vokal, tegas, dan tanpa kompromi terhadap pelanggaran hak-hak sipil.
Baca Juga:
Dualisme BEM UI Mencuat Usai Audiensi Mahasiswa dengan DPR
Mendadak Trending Ini Profil Agus Setiawan yang Hadir di Audiensi DPR dan Picu Polemik
Di ranah internal kampus, Zayyid adalah sosok yang konsisten menentang keberadaan BEM UI Ungu, kepengurusan yang disebut-sebut lahir dari intervensi rektorat. Ia menilai bahwa pengangkatan tersebut tidak memiliki legitimasi resmi dari Mahkamah Mahasiswa maupun Kongres Mahasiswa UI.
Penolakannya tidak berdiri sendiri, melainkan mendapat dukungan kuat dari 14 BEM fakultas UI yang secara total menolak eksistensi BEM UI Ungu. Situasi ini membuat dualisme BEM UI semakin tajam, namun sekaligus mengokohkan posisi Zayyid sebagai simbol perlawanan mahasiswa terhadap intervensi kampus.
Meski terhimpit oleh keterbatasan karena tidak lagi mendapat dukungan fasilitas resmi dari kampus, Zayyid tetap memainkan peran penting di level nasional. Ia menyoroti dinamika BEM Seluruh Indonesia (BEM SI), menegaskan bahwa UI tetap mendukung BEM SI selama organisasi itu berlandaskan idealisme mahasiswa. Baginya, BEM SI seharusnya menjadi wadah perjuangan, bukan sekadar alat politik penguasa.
Dengan rekam jejak panjang yang didokumentasikan di SignalHire dan berbagai pernyataan tegasnya di publik, Zayyid Sulthan Rahman kini menjelma sebagai salah satu wajah baru gerakan mahasiswa Indonesia. Kepemimpinannya yang lugas, konsisten, dan penuh idealisme menempatkannya bukan hanya sebagai Ketua BEM UI Kuning, tetapi juga sebagai simbol perlawanan yang memantik perdebatan di kalangan mahasiswa maupun masyarakat luas.
Penulis:
Daniel Oktorio Saragih
Ilmu Komunikasi
Universitas Informatika Dan Bisnis Indonesia (UNIBI)