BANDUNG, TEROPPNGMEDIA.ID – Seorang wajib pajak mengunjungi ke loket Helpdesk di KPP tempat saya bertugas. Rambut putih dan kerutan di wajahnya menunjukan usianya sudah tidak muda lagi. Mungkin usianya telah menginjak kepala 7. Beliau datang membawa setumpuk kertas di dalam map berlogo Instansi Pemerintah Daerah.
“Saya ingin menghibahkan tanah milik pribadi saya kepada pemerintah kota untuk dijadikan sarana jalan umum,” ungkapnya.
Rupanya pria yang berprofesi sebagai dokter itu datang untuk berkonsultasi terkait aspek perpajakan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (PHTB) kepada Pemerintah.
“Bagaimana dengan Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan tersebut bagi saya sebagai pemilik hak? Apakah bisa saya mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB)?” lanjutnya lagi.
Tak hanya aspek legal, pengalihan hak atas tanah maupun bangunan perlu memperhatikan aspek pajak. Merujuk ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan objek PPh Final.
Meskipun demikian, terdapat beberapa pengecualian atas objek PHTB tersebut. Apakah pengalihan Hak Atas Tanah kepada Pemerintah termasuk yang dikecualikan dari pengenaan PPh atau justru terutang PPh?
Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak Tanah dan/atau Bangunan Kepada Pemerintah
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah merupakan suatu praktik yang lazim dilakukan. Alasannya pun beragam, yang paling umum dilakukan adalah ganti rugi pembebasan hak kepemilikan atas tanah terkait berbagai proyek pemerintah untuk kepentingan umum.
Sebagai contoh yaitu ganti rugi atas pengalihan hak atas tanah/bangunan pada proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) atau kepada masyarakat yang terkena proyek pelebaran jalan untuk kepentingan umum.
Alasan lainnya, seperti yang dilakukan oleh wajib pajak yang datang ke loket helpdesk saat itu, hibah dari seorang warga kepada masyarakat umum (dalam hal ini pemerintah kota) untuk dipergunakan sebagai sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (jalan umum).
Apapun alasannya, atas transaksi PHTB kepada pemerintah dalam rangka percepatan pelaksanaan program pembangunan untuk kepentingan umum sudah seyogianya diberikan berbagai kemudahan dan fasilitas bagi pihak-pihak yang terkait.
Satu di antaranya terkait pengaturan tarif PPh terhutang bagi pemilik hak yang mengalihkan hak atas tanahnya ke negara, baik melalui pemerintah ataupun badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
Pengenaan PPh Final atas pengalihan tanah dan bangunan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (PP 34/2016). Berdasarkan PP 34/2016 tersebut, atas penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi ataupun badan usaha dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhutang PPh final.
Objek dari PPh Final ini adalah penghasilan yang diterima dari (a) pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau (b) perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
Pengalihan hak dimaksud dapat terjadi karena adanya transaksi penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, lelang, hibah, waris, ataupun cara lain yang disepakati antara para pihak terkait.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP 34/2016, terdapat tiga kelompok tarif PPh Final dalam transaksi pengalihan hak tanah dan bangunan, yakni 2,5%, 1%, dan 0%.
PPh Final 2,5% diberlakukan untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Tarif 1% berlaku untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Tarif 0% dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah jumlah bruto dari nilai pengalihan. Nilai pengalihan dapat ditentukan dari nilai transaksi jual beli, nilai pasar, nilai risalah lelang, ataupun nilai yang ditentukan oleh pejabat berwenang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, atas transaksi PHTB dokter di atas terjadi karena adanya hibah kepada pemerintah kota, maka wajib pajak terhutang PPh final dengan tarif 0%.
Dengan kata lain, Penghasilan sehubungan PHTB kepada pemerintah atau badan usaha yang ditunjuk pemerintah untuk kepentingan umum bukan termasuk jenis penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam PP 34 tahun 2016, sehingga atas hibah tersebut tidak dapat diberikan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
BACA JUGA: Eks Dirjen Pajak Minta Kenaikan PPN 12% Dibatalkan
Lalu, bagaimana mendapatkan bukti bahwa wajib pajak telah melakukan pemenuhan kewajiban PPh atas PHTB tersebut?
Sebagai bukti pemenuhan kewajiban PPh bagi pihak yang melakukan PHTB yang penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana transaksi dokter di atas, Pemerintah Kota melalui bendahara atau pejabat yang ditunjuk memiliki kewajiban membuat laporan terkait transaksi tersebut dan melaporkannnya ke KPP tempat unit/instansi pemerintah kota tersebut terdaftar.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 261/PMK.03/2016 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK 81 tahun 2024 telah mengatur terkait tata cara penyetoran, pelaporan, dan pengecualian pengenaan PPh atas transaksi tersebut.
Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah dikenai tarif 0% (nol persen), Instansi Pemerintah sebagai pemotong PPh tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak, namun wajib membuat laporan PHTB tersebut dengan membuat bukti pemotongan PPh dan menyampaikannya kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan.
Laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dibuat oleh Instansi Pemerintah menggunakan format sesuai lampiran I PMK-261/PMK.03/2016 atau (sejak 2022) melalui ebupot unifikasi.
Laporan tersebut (SPT Masa PPh Unifikasi) disampaikan ke KPP tempat unit/instansi pemerintah yang melakukan pembayaran atau transaksi terdaftar paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak. Bukti pemotongan dan laporan tersebut merupakan bukti pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Penjelasan tersebut saya sampaikan ke dokter dan beliau menyampaikan terima kasihnya. Terbersit rasa kagum di hati saya saat itu atas tindakan beliau menghibahkan tanahnya sebagai jalan umum. Ternyata ada warga negara Indonesia yang memiliki rasa peduli dan memiliki sikap “apa yang bisa saya berikan untuk negara dan masyarakat” alih-alih berpandangan “apa yang telah negara berikan kepada saya”.
Tabik.
Penulis: Listiana Rumonda Wardani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak*)
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.