JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Desakan untuk mereformasi institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) semakin menguat dari kalangan masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menuntut Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk tim reformasi yang independen, efektif, dan berani menyentuh setidaknya sembilan masalah sistemik yang menggerogoti Polri.
Tuntutan ini disampaikan menyusul rencana pemerintah yang diwacanakan akan membentuk tim atau komisi Reformasi Kepolisian, seperti disampaikan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) usai bertemu Presiden di Istana Negara, Kamis (11/9/2025) lalu.
Dalam pernyataan sikap tertulisnya yang dirilis pada Selasa (16/9), Koalisi RFP menegaskan bahwa reformasi tidak boleh sekadar membentuk tim tanpa peta jalan yang jelas.
Mereka menekankan, reformasi Polri haruslah menyeluruh, mencakup aspek sistem, kewenangan, struktur, dan kultur kepolisian.
“Polri tidak kunjung berbenah meski diterpa skandal berulang, mulai dari korupsi, brutalitas, hingga arogansi kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang,” tulis koalisi yang terdiri dari 13 organisasi, termasuk YLBHI, ICW, KontraS, AJI Indonesia, dan ICJR.
Tuntutan Konkret dan Penghentian RUU KUHAP
Sebagai langkah awal, Koalisi RFP mendesak Presiden dan DPR untuk menghentikan proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 13 Juli 2025.
Mereka menilai draft tersebut justru membuat Polri semakin “superpower” dan minim kontrol dalam fungsi penegak hukum.
Sebagai gantinya, revisi KUHAP harus memuat jaminan mekanisme check and balances oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan skema habeas corpus untuk setiap orang yang ditangkap atau ditahan guna mencegah pengulangan penyalahgunaan kekuasaan.
Syarat Tim Reformasi dan Sembilan Agenda Prioritas
Koalisi RFP menyatakan bahwa tim reformasi yang dibentuk harus memenuhi sejumlah syarat krusial:
- Memiliki kewenangan efektif dan rekomendasinya bersifat mengikat, bukan sekadar laporan.
- Beranggotakan sosok yang independen, berintegritas, dan representatif dari elemen masyarakat sipil serta akademisi.
- Bebas dari konflik kepentingan, termasuk dengan meniadakan unsur polisi aktif dan Kompolnas.
- Proses dan hasil kerjanya harus transparan.
BACA JUGA
Pembentukan Tim Reformasi Polri Bukan untuk Copot Kapolri, Apa Tujuan Utamanya?
Santer Isu Pergantian Kapolri Pasca Reshuffle, Presiden Prabowo Sudah Surati DPR?
Selain itu, tim reformasi harus menyasar sembilan masalah fundamental POLRI yang dipetakan oleh koalisi:
- Absennya sistem akuntabilitas dan pengawasan yang efektif.
- Sistem pendidikan yang menghasilkan budaya kekerasan, militeristik, dan koruptif.
- Tata kelola organisasi yang tidak transparan dan tidak akuntabel.
- Sistem kepegawaian yang tidak berbasis meritokrasi.
- Terlalu luasnya lingkup tugas dan fungsi POLRI.
- Penggunaan kekuatan yang berlebihan dan brutal, termasuk peran Brimob yang tidak relevan.
- Buruknya komitmen HAM dan nilai demokrasi.
- Kultur tebang pilih, penelantaran perkara, dan korupsi dalam penegakan hukum.
- Keterlibatan kepolisian dalam dunia bisnis dan politik.
Koalisi menegaskan, reformasi harus mampu meredefinisi jati diri Polri sebagai civilian police yang demokratis melalui jalan depolitisasi, demiliterisasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi.
“Tanpa komitmen yang jelas dan sistematis, langkah Presiden membentuk tim tersebut semata-mata hanya lip service, gimmick, dan akan mengulangi kegagalan,” pungkas pernyataan sikap tersebut. Mereka meyakini, reformasi sungguhan akan menjadi tonggak penting bagi kemajuan demokrasi, HAM, dan konstitusionalisme di Indonesia.
(Aak)