BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dinamika politik kampus yang panas, Universitas Indonesia kini menghadapi fenomena unik. Adanya dualisme organisasi mahasiswa tertinggi, yakni Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Jika BEM UI Ungu dipimpin Agus Setiawan, maka kubu lain dikenal dengan nama BEM UI Kuning, yang diketuai oleh Zayyid Sulthan (Atan).
BEM UI Kuning lahir sebagai bentuk protes terhadap hasil Pemira UI 2024, di mana sebagian mahasiswa menilai kemenangan Agus Setiawan dan Bintang Maranatha Utama sarat dengan kecurangan. Alhasil, mereka menolak mengakui kepengurusan Agus sebagai representasi resmi mahasiswa UI. Sejak itu, terbentuklah kubu BEM UI Kuning yang tetap mengklaim diri sebagai suara mayoritas mahasiswa UI.
Kehadiran BEM UI Kuning menambah kerumitan politik internal kampus. Tidak hanya sekadar dualisme, tapi juga perbedaan pandangan dalam menyikapi isu nasional. Saat Agus hadir dalam audiensi dengan pimpinan DPR pada 3 September 2025, BEM UI Kuning bersama sejumlah BEM fakultas menolak mentah-mentah. Mereka menyebut audiensi tersebut hanya jebakan DPR untuk mencitrakan diri seolah telah mendengar aspirasi mahasiswa.
Baca Juga:
Profil Zayyid Sulthan Rahman, Ketua BEM UI Kuning yang Jadi Simbol Perlawanan Mahasiswa
Ketua BEM FH UI, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, dalam akun X @kaboooyyy menegaskan sikapnya:
“BEM se-ui sepakat untuk tidak menghadiri audiensi dpr hari ini karena stance kami adalah tidak memercayai sistem dan lembaga dpr saat ini dan akan terus membersamai masyarakat dalam mereformasi sistem saat ini,” tulis Fawwaz.
Ia bahkan menuding Agus Setiawan sebagai “oknum” yang mengkhianati gerakan mahasiswa UI. Kritik ini sejalan dengan sikap BEM UI Kuning yang sejak awal berdiri, mengusung misi menjaga kemurnian perjuangan mahasiswa, tanpa kompromi dengan institusi politik yang mereka nilai tidak lagi mewakili rakyat.
Secara struktur, BEM UI Kuning mengklaim tetap menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan mahasiswa seperti advokasi, pengabdian masyarakat, dan kajian isu strategis. Bedanya, mereka menolak campur tangan rektorat dan menolak hasil Pemira yang dianggap cacat. Nama “kuning” sendiri diambil dari identitas almamater Universitas Indonesia, untuk menegaskan bahwa gerakan mereka adalah representasi “hati mahasiswa UI” yang sesungguhnya.
Meski belum ada pengakuan resmi, BEM UI Kuning justru makin populer di kalangan mahasiswa. Beberapa gerakan nasional yang melibatkan mahasiswa UI belakangan ini, seperti aksi solidaritas buruh dan isu lingkungan, kerap digerakkan oleh kubu kuning. Dengan posisi ini, BEM UI Kuning dipandang sebagai oposisi internal kampus yang tetap menjaga idealisme pergerakan mahasiswa.
Fenomena dualisme ini membuat Universitas Indonesia berada pada situasi yang jarang terjadi di kampus manapun di Indonesia. Dua kubu BEM berjalan beriringan, satu mendapat legitimasi formal dari rektorat, satu lagi mendapat legitimasi moral dari sebagian mahasiswa. Lalu, siapa yang benar-benar mewakili suara mahasiswa UI? Pertanyaan itu masih jadi perdebatan panjang hingga hari ini.
Penulis:
Daniel Oktorio Saragih
Ilmu Komunikasi
Universitas Informatika Dan Bisnis Indonesia (UNIBI)