BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Baru-baru ini, media sosial dihebohkan oleh foto yang memperlihatkan proyek pembukaan lahan berskala besar di lereng Tangkuban Perahu, di Desa Karyawangi, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Dalam foto tersebut, terlihat ada kegiatan penggalian serta pengurugan (cut and fill) untuk pembuatan jalan serta bangunan-bangunan. Luas lahan tersebut diperkirakan mencapai 5 hektar lebih.
Pada foto yang beredar tersebut juga terlihat penampakan yang cukup kontrasantara area proyek dengan area sekeliling proyek yang terletak di area rimbun vegetasi hutan Kawasan Bandung Utara (KBU). Di are proyek tampak terjadi perusakan di area hutan dan tanaman teh.
Berdasarkan penelusuran, foto itu pertama kali diunggah oleh akun Instagram Ketua Asosiasi Profesi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI) Deni Sugandi pada 23 Maret 2025.
“Jadi waktu itu kami sedang melaksanakan kegiatan pemanduan wisata Geourban Gunung Tangkuban Parahu memakai jalur perkebunan teh Sukawana lewat trek 11 menuju puncak Upas,” kata Deni dikutip pada Jumat (28/3/2025).
“Di perjalanan, saya menerbangkan drone untuk melihat bentang alam di sekitar perkebunan teh. Tiba-tiba pesawat saya menangkap dari kejauhan aktivitas pembukaan lahan dengan skala besar di sana, karena pesawat gak sampai ke lokasi saya pakai zoom untuk memotretnya,” tambahnya.
Ia pun menyayangkan dengan adanya pembukaan lahan skala besar di kawasan itu karena lokasi proyek berada di lereng gunung Tangkuban Parahu yang ditetapkan masuk KBU sebagai fungsi konservasi tangkapan air di Cekungan Bandung.
BACA JUGA:
5 Fakta Menarik Tentang Gunung Tangkuban Perahu
20 Juta Hektar Lahan Hutan Bakal Dibuka Buat Food Estate, PILHI Ingatkan Hal Ini!
“Kita sangat menyayangkan aktivitas ini karena merusak bentang alam. Bakan masyarakat sekitar lapor sulit akses ke lokasi karena di pasang pagar dan dilarang pengembangan. Padahal lokasi itu juga salah satu akses pendakian ke Gunung Tangkuban perahu,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan daerah imbuhan akan terganggu akibat perubahan tata guna lahan. Menurut Deni, skema betonisasi yang diterapkan dapat menyebabkan hilangnya daerah resapan, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan banjir dan longsor.
Dampak Eksploitasi Pegunungan untuk Proyek Infrastruktur
Pegunungan sering kali menjadi target pembangunan proyek besar, seperti pembangkit listrik tenaga air, jalan raya, resor wisata, hingga kawasan industri. Meskipun proyek-proyek ini dianggap membawa manfaat ekonomi, kenyataannya ada dampak lingkungan yang sangat serius, terutama di kawasan konservasi tangkapan air.
Kawasan tangkapan air di pegunungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan lebat dan tanah yang masih alami mampu menyerap air hujan dan menyimpannya di dalam tanah sebelum dilepaskan perlahan melalui sungai dan mata air. Namun, ketika proyek besar mulai merambah daerah ini, siklus alami terganggu, menyebabkan berbagai konsekuensi ekologis yang berjangka panjang.
1. Krisis Air: Berkurangnya Sumber Mata Air
Salah satu dampak utama dari perusakan kawasan konservasi adalah menurunnya kapasitas tanah dalam menyerap dan menyimpan air. Penggundulan hutan untuk membuka lahan proyek akan mengurangi jumlah pohon yang berfungsi sebagai penyerap air hujan. Tanpa hutan yang cukup, air hujan akan langsung mengalir ke sungai tanpa terserap ke dalam tanah, menyebabkan mata air mengering lebih cepat.
Akibatnya, masyarakat yang bergantung pada sumber air dari pegunungan akan mengalami krisis air bersih. Hal ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan domestik, tetapi juga pada sektor pertanian dan perikanan yang bergantung pada pasokan air stabil dari pegunungan.
2. Longsor dan Banjir Bandang
Hutan di kawasan gunung berfungsi sebagai penahan tanah. Akar-akar pohon membantu mengikat tanah agar tidak mudah tergerus air hujan. Namun, ketika proyek pembangunan mengharuskan penebangan pohon dalam jumlah besar, tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi.
Erosi tanah di daerah pegunungan bisa memicu longsor yang berbahaya, terutama di musim hujan. Selain itu, aliran air hujan yang tidak terkontrol akibat hilangnya vegetasi akan menyebabkan banjir bandang di daerah hilir. Banjir ini sering kali membawa material lumpur dan bebatuan yang dapat menghancurkan pemukiman dan lahan pertanian masyarakat di bawahnya.
3. Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Pegunungan yang berfungsi sebagai kawasan konservasi merupakan habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna. Ketika proyek besar mulai mengambil alih lahan di daerah ini, banyak spesies kehilangan habitatnya dan terancam punah.
Hewan-hewan yang sebelumnya hidup di kawasan tersebut terpaksa berpindah mencari tempat baru, sering kali ke area pemukiman manusia. Ini tidak hanya menyebabkan gangguan pada keseimbangan ekosistem, tetapi juga meningkatkan konflik antara manusia dan satwa liar.
Selain itu, deforestasi untuk proyek besar juga mengancam spesies tanaman langka yang hanya tumbuh di ekosistem tertentu. Hilangnya tumbuhan ini bisa mengurangi potensi obat-obatan alami yang berasal dari hutan pegunungan.
4. Peningkatan Emisi Karbon dan Pemanasan Global
Deforestasi yang terjadi akibat pembangunan proyek besar di pegunungan juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon. Pepohonan yang ditebang melepaskan karbon yang tersimpan di dalamnya ke atmosfer, mempercepat proses perubahan iklim.
Selain itu, proyek-proyek besar seperti industri dan pertambangan sering kali menghasilkan polusi udara dan limbah yang dapat memperburuk kualitas lingkungan. Perubahan iklim akibat pemanasan global semakin memperburuk kondisi alam, mempercepat pengeringan sumber air, serta meningkatkan frekuensi bencana alam seperti badai dan kebakaran hutan.
5. Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat Sekitar
Kerusakan lingkungan akibat pembangunan proyek besar tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada kehidupan masyarakat sekitar. Dengan rusaknya sumber air, petani mengalami kesulitan dalam mengairi sawah dan ladang mereka. Nelayan yang bergantung pada sungai-sungai pegunungan juga mengalami penurunan hasil tangkapan akibat berkurangnya aliran air dan meningkatnya pencemaran.
Selain itu, masyarakat adat yang telah lama tinggal di kawasan tersebut sering kali kehilangan hak atas tanah mereka. Banyak komunitas lokal terpaksa pindah dan kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menjadi bagian dari kehidupan mereka selama berabad-abad.
(Virdiya/Dist)