BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Asosiasi Kafe dan Restoran Jawa Barat (AKAR-PHRI) menyampaikan kritik tajam terhadap mekanisme penarikan royalti musik yang dibebankan kepada pelaku usaha restoran dan kafe. Ketua AKAR-PHRI, Arif Maulana, menilai langkah yang dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) justru menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha.
Arif mengungkapkan bahwa sejumlah restoran di Bandung menerima surat somasi yang disertai ancaman pidana terkait pembayaran royalti musik. Ia menilai pendekatan tersebut tidak tepat, terlebih saat kondisi ekonomi pelaku usaha masih belum stabil. Menurutnya, regulasi seharusnya memberikan rasa aman, bukan menambah beban.
“Yang terjadi saat ini, baik pelaku usaha maupun pencipta lagu justru dibuat resah oleh aturan yang tidak diciptakan melalui proses yang benar,” tegasnya.
Ia juga menyoroti besaran tarif yang dianggap tidak wajar, seperti penarikan biaya hingga Rp120 ribu per kursi. Angka tersebut dinilainya tidak masuk akal dan sulit dipertanggungjawabkan. Selain itu, LMKN disebut belum mampu menunjukkan daftar pencipta lagu yang memberi kuasa penarikan royalti, sehingga memunculkan keraguan mengenai distribusi dana ke pihak yang berhak.
Baca Juga:
Polemik Royalti Timnas, Sekjen PSSI Akhirnya Buka Suara
Kebijakan LMK Soal Royalti ‘Tanah Airku’, Ini Tanggapan Keluarga Ibu Soed
Arif menjelaskan bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 sudah diatur penggunaan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang seharusnya dijalankan secara digital, terbuka, dan transparan. Namun, ia menilai praktik penarikan royalti di lapangan masih dilakukan secara manual dan tanpa kejelasan pembagian.
“Metodenya seperti kembali ke era 80-an, saat penagihan iuran TV dilakukan secara manual dari rumah ke rumah,” ujarnya.
Arif menegaskan, apabila biaya yang dikenakan lebih wajar dan sistemnya transparan, pihaknya akan mendukung dan membantu pelaksanaan program tersebut. Arif juga mengingatkan bahwa restoran dan hotel tidak menjual musik sebagai produk utama. Musik yang diputar di tempat usaha, menurutnya, hanya berfungsi sebagai penunjang suasana atau latar belakang, sehingga penerapan royalti seharusnya mempertimbangkan proporsi dan relevansinya.
Kritik ini menjadi sorotan baru dalam hubungan antara pelaku usaha dan pengelola hak cipta musik. Arif berharap ke depan ada mekanisme yang adil, transparan, dan tidak membebani pelaku usaha, namun tetap menghormati hak-hak pencipta lagu.
Penulis:
Muhammad Amni Fii Imani
Jurusan ilmu komunikasi
Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia (UNIBI)