JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Setiap tahun, sekitar 50 ribu bayi di Indonesia lahir dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) di Indonesia . Namun, mirisnya, hanya sekitar 7.500 kasus yang bisa tertangani oleh tenaga medis. Keterbatasan fasilitas dan jumlah rumah sakit menjadi hambatan utama dalam penyelamatan pasien.
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Siloam Heart Hospital (SHH), dr. Asmoko, menyebut hingga saat ini Indonesia baru memiliki sekitar 12 pusat layanan bedah jantung. Jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan kebutuhan pasien yang terus meningkat setiap tahun.
“Kesenjangan ini terjadi karena pusat atau rumah sakit yang bisa melakukan tindakan masih terbatas. Pemerintah memang sudah menambah jalur pendidikan, memberikan beasiswa, dan membuka sentra bedah jantung. Tapi kebutuhan pasien jauh lebih besar,” ujar Asmoko dalam acara Doctor’s Interview di Pondok Indah Mall (PIM) 2, Jakarta Selatan, Rabu (20/8/2025).
Akibat keterbatasan itu, banyak anak harus menunggu lama untuk mendapatkan jadwal tindakan. Penundaan tersebut memperbesar risiko, karena penyakit bisa semakin parah bila tidak segera ditangani.
Selain masalah fasilitas, rendahnya kesadaran masyarakat juga menjadi hambatan. Menurut Asmoko, banyak orang tua tidak memahami gejala awal PJB. Akibatnya, sebagian pasien baru terdiagnosis ketika sudah dewasa atau mengalami komplikasi serius.
“Edukasi sebenarnya sudah banyak dilakukan, mulai dari penyuluhan, bakti sosial, hingga IG Live di akun organisasi dokter jantung. Tapi masyarakat sering kali lebih tertarik pada konten hiburan dibanding informasi kesehatan,” jelasnya, mengutip Liputan6.
Baca Juga:
Ini Penjelasan Dokter Soal Balita di Sukabumi yang Meninggal Dipenuhi Cacing
Meski demikian, berbagai upaya tetap dijalankan pemerintah. Antara lain mempercepat pendidikan spesialis jantung, memberikan beasiswa, memperluas pusat layanan, hingga meluncurkan kampanye edukasi saat Hari Jantung Sedunia maupun Hari Penyakit Jantung Bawaan.
Di sisi lain, teknologi intervensi non-bedah seperti kateterisasi kini menjadi harapan baru bagi pasien. Metode ini lebih minim invasif, pemulihannya lebih cepat, dan bisa menjadi solusi di tengah terbatasnya fasilitas operasi jantung terbuka.
“Upaya sudah lumayan, tinggal memperkuat kolaborasi lintas sektor agar pesan edukasi menjangkau masyarakat luas dan berdampak nyata,” tegas Asmoko.
Dengan dukungan berbagai pihak, kesenjangan penanganan PJB di Indonesia diharapkan bisa semakin menyempit, sehingga lebih banyak anak dapat tertolong sejak dini.
(Dist)