BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kemajuan teknologi, perubahan gaya hidup, hingga arus globalisasi yang kencang perlahan menggerus akar budaya masyarakat Sunda. Akibatnya, tidak sedikit tradisi Sunda yang terancam punah karena perubahan pola berpikir masyarakat kekinian.
Banyak karya budaya warisan leluhur yang dulu akrab di kehidupan sehari-hari, kini hanya dikenang dalam buku pelajaran atau acara seremonial semata.
Padahal, budaya-budaya ini bukan sekadar tradisi, tapi menyimpan nilai edukasi, spiritualitas, dan kearifan lokal yang penting untuk diwariskan.
Berikut 12 tradisi Sunda yang semakin langka dan terancam punah:
1.Maénpo (Silat Tradisi Sunda)
Bukan cuma seni bela diri, Maénpo juga mengajarkan pengendalian diri, filosofi hidup, dan hubungan spiritual dengan alam. Aliran seperti Cikalong, Cimande, dan Sera dulunya punya ratusan murid. Kini, regenerasi terbatas, dan peminatnya kalah saing dengan olahraga modern atau bela diri luar negeri.
2. Beluk (Seni Vokal Tradisional)
Beluk adalah bentuk nyanyian tanpa iringan alat musik, dinyanyikan dengan penghayatan tinggi dan teknik pernapasan kuat. Biasanya dinyanyikan dalam acara adat atau ritual. Karena sulit dipelajari dan minim panggung pertunjukan, Beluk perlahan menghilang bersama generasi tua yang menguasainya.
3. Ngabedahkeun Kajadian (Tuturan Lisan Sejarah Lokal)
Tradisi ini merupakan cara masyarakat Sunda mengingat sejarah lewat tuturan para sesepuh. Kisah asal-usul desa, peristiwa bencana, hingga ajaran moral disampaikan secara turun-temurun. Namun karena tak terdokumentasi dan tergeser oleh informasi digital, tradisi ini makin terpinggirkan.
4. Mapag Sri (Ritual Padi)
Mapag Sri adalah upacara menyambut Dewi Sri sebagai lambang kesuburan dalam budaya agraris Sunda. Biasanya dilakukan saat panen dengan doa, musik, dan tarian. Kini, dengan sistem pertanian modern dan pergeseran ke profesi non-tani, ritual ini hanya dilakukan di komunitas adat terbatas.
5. Rengkong (Iring-Iringan Arak Padi)
Rengkong adalah alat musik sederhana dari bambu yang dibawa berarak bersama hasil panen. Suara dentingnya khas dan menjadi penanda syukur. Tapi kini, keberadaannya terbatas di perayaan adat atau festival budaya saja.
6. Ngeuyeuk Seureuh (Prosesi Pernikahan Adat Sunda)
Prosesi ini melambangkan ajaran hidup rumah tangga melalui simbol-simbol, seperti daun sirih, telur, dan uang logam. Namun karena dianggap rumit dan memakan biaya, banyak pasangan muda memilih melewatinya atau menggantinya dengan acara pernikahan modern.
7. Nyiblung (Bernyanyi di Sungai)
Tradisi perempuan muda bernyanyi saat mandi di sungai ini dulu jadi ajang bersosialisasi dan mengungkap perasaan lewat lagu. Tapi dengan berkurangnya sungai bersih dan berubahnya gaya hidup, nyiblung kini nyaris tak terdengar lagi.
8. Parebut Seeng (Permainan Rebutan Kukusan)
Parebut Seeng adalah permainan rakyat yang menguji kekuatan dan strategi, di mana peserta saling berebut kukusan bambu di tengah arena. Kini permainan ini tak lagi populer, tergantikan oleh gadget dan permainan digital.
9. Sayaga Lembur (Ronda Kampung Tradisional)
Tradisi ronda malam dengan kentongan dan obor ini dulu jadi simbol solidaritas warga menjaga keamanan desa. Kini sistem keamanan digantikan CCTV dan satpam, sementara kentongan hanya jadi hiasan di pos ronda yang kosong.
10. Gondang Buhun (Musik Sakral Kasepuhan)
Gondang Buhun adalah musik ritual yang dimainkan dalam upacara adat di komunitas Kasepuhan. Instrumennya sederhana tapi sakral. Karena tidak boleh dimainkan sembarangan dan minim dokumentasi, keberadaannya makin eksklusif dan tak dikenal publik luas.
BACA JUGA
Profil Puspa Karima, Grup Musik Tradisi Sunda Asal Sumedang yang Berkiprah Sampai Mancanegara
Gelar Seni Budaya Kalteng 2025: Launching Taman Budaya dan Pementasan 10 Sanggar
11. Kasarungan (Cerita Rakyat Spiritual)
Kisah orang “kerasukan” atau dimasuki roh dalam tradisi Sunda dulu sering menjadi bagian dari cerita rakyat, teater rakyat, atau ritual adat. Kini dianggap mistik dan tidak rasional oleh sebagian besar generasi muda, cerita-cerita ini jarang lagi dipentaskan.
12. Upacara Tutupan (Akhir Panen)
Upacara Tutupan dilakukan sebagai bentuk syukur setelah panen selesai, dengan makanan khas dan permainan rakyat. Sekarang, dengan padatnya jadwal kerja dan ritme hidup modern, acara seperti ini nyaris punah dan tergantikan oleh perayaan instan atau komersial.
(Daniel Oktorio saragih/Magang/Aak)