JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Pemerintah menyatakan akan mengambil alih tanah-tanah hak guna bangunan (HGB) dan hak guna usaha (HGU) yang tak dimanfaatkan dengan baik, termasuk mengambil alih lahan-lahan yang dibiarkan terbengkalai.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid menegaskan, bahwa proses penetapan tanah terlantar membutuhkan waktu cukup panjang hingga 587 hari.
“Proses dari evaluasi sampai penetapan lahan tersebut menjadi tanah terlantar butuh waktu 587 hari,” ujar Nusron saat memberi keterangan kepada media, seperti dilansir dari Antara, Kamis (31/7/2025).
Langkah ini diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam beleid tersebut, jika tanah yang sudah memiliki status HGU atau HGB tidak dimanfaatkan selama dua tahun, maka tanah tersebut dapat ditetapkan sebagai tanah terlantar.
Nusron menjelaskan, prosesnya bukan hanya sekadar observasi. Ada tahapan formal yang harus dilalui mulai dari evaluasi, pemberitahuan, hingga serangkaian surat peringatan resmi (SP) kepada pemilik lahan.
“Pertama ada tahap evaluasi, kemudian pemberitahuan. Setelah itu diberikan waktu 180 hari, lalu SP 1 selama 9 bulan, SP 2 selama 60 hari, dan SP 3 selama 45 hari,” terangnya.
Ia pun menegaskan bahwa proses ini dilakukan dengan penuh kehati-hatian, dan tidak dilakukan secara “sembrono”.
“Tahap-tahap dilalui sesuai prosedur, tidak asal-asalan dalam menetapkan tanah terlantar,” kata Nusron.
Setelah ditetapkan sebagai tanah terlantar, lahan tersebut akan diserahkan kepada Bank Tanah, lembaga yang berada di bawah kendali negara. Kemudian, Bank Tanah dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk berbagai kepentingan strategis seperti ketahanan pangan, energi, hilirisasi industri, atau proyek-proyek pembangunan nasional lainnya.
Baca Juga:
Pemerintah Ambil Langkah Strategis: Beli Tanah di Mekkah Bangun Kampung Haji Indonesia
Penyelidikan Google Cloude, KPK Kemungkinan Bakal Panggil Nadiem Makarim
Potensi Konflik dan Kepentingan Publik
Kebijakan ini juga mendapat sorotan dari istana. Kepala Kantor Komunikasi Presiden (PCO) Hasan Nasbi membenarkan bahwa pemerintah tengah melakukan penertiban lahan-lahan yang dinilai tidak produktif.
“Karena harusnya ketika lahan dimiliki, digunakan. Kalau itu HGU, harusnya digunakan untuk kegiatan produktif, bukan dibiarkan begitu saja,” ujar Hasan pada 16 Juli lalu di Kantor PCO, Jakarta.
Menurutnya, selain sebagai bagian dari reformasi agraria, langkah ini juga bertujuan mengurangi potensi konflik pertanahan di masa mendatang akibat lahan yang menganggur atau tidak dimanfaatkan.
Meski demikian, pemerintah menegaskan tidak akan mengambil alih lahan secara sewenang-wenang. Penertiban dilakukan dengan tahapan peringatan sebanyak tiga kali sebelum hak hukum atas tanah tersebut dicabut.
“Kalau tiga kali peringatan tak diindahkan, barulah HGU dan HGB dihapus. Lahan akan masuk status tanah terlantar yang dikelola negara,” jelas Hasan.
Langkah ini disebut penting untuk mendistribusikan tanah kepada pihak yang benar-benar membutuhkan, seperti petani, nelayan, koperasi, atau badan usaha negara yang menjalankan misi pelayanan publik.
Meski dilandasi hukum dan dilakukan lewat prosedur, kebijakan ini tak luput dari sorotan publik. Beberapa kalangan mempertanyakan efektivitas dari penertiban tanah, apalagi mengingat prosesnya memakan waktu hingga hampir dua tahun. Dalam periode yang panjang itu, tidak tertutup kemungkinan terjadi tarik-menarik kepentingan antara pemilik tanah, elite lokal, dan pemerintah.
Di sisi lain, belum jelas seberapa luas lahan HGU dan HGB yang telah dikategorikan sebagai tidak produktif, serta apakah ada transparansi dalam penunjukan kembali penggunaan lahan tersebut setelah diambil alih oleh negara.
Meski begitu, pemerintah tetap optimistis bahwa penertiban tanah telantar adalah salah satu kunci untuk mendorong pemerataan ekonomi dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
“Intinya, tanah yang ditelantarkan harus bisa dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan rakyat,” tandas Nusron.
(Dist)