JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Kemenangan besar Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di beberapa daerah strategis pada Pilkada 2024 lalu bukan sebuah kebetulan. Ada beberapa faktor kunci yang setidaknya mendukung dominasi koalisi ini di berbagai wilayah pemilihan, termasuk di pulau Jawa yang selama ini dikenal sebagai basis PDIP.
Pengamat politik yang juga dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Ludiro Madu mengatakan, strategi pembentukan koalisi gemuk. Strategi ini menggabungkan hampir seluruh kekuatan politik utama, seperti Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PSI, Gelora, NasDem, PKB, PKS, PPP hingga Perindo.
“Perolehan suara memberikan bukti efektifitas koalisi itu dalam mengkonsolidasikan suara. Pendekatan ini memungkinkan KIM Plus untuk memaksimalkan mesin partai dan jaringan politik di tingkat akar rumput secara masif,” kata Ludiro saat dihubungi Teropongmedia.id, Rabu (4/12/2024).
Ludiro menjelaska, pemilihan kandidat yang tepat. Strategi ini dapat dikatakan telah mempertimbangkan faktor elektabilitas dan pengalaman kepemimpinan dari calon atau kandidatnya.
“Di Jawa Timur misalnya, pasangan petahana Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak berhasil mengamankan 57,23% suara mengalahkan Tri Rismaharini yang diusung PDIP. Di Jawa Barat, figur populer Dedi Mulyadi berpasangan dengan Erwan Setiawan mampu meraih 61,16% suara, jauh meninggalkan kompetitor terdekatnya,” jelasnya.
Ludiro mengungkapkan, KIM Plus berhasil mengkapitalisasi momentum politik nasional pasca penetapan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres 2024. Kapitalisasi momentum itu sangat menarik. Kemenangan di level nasional telah memberikan efek psikologis yang signifikan bagi pemilih di daerah.
“Strategi ini menciptakan apa yang disebut sebagai bandwagon effect atau kecenderungan untuk memilih pihak yang dipersepsikan akan menang,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, koalisi ini mampu membangun narasi politik yang efektif. Narasi itu terkait dengan kontinuitas pembangunan dan sinergi pusat-daerah. Pesan bahwa memilih kandidat KIM Plus akan memudahkan koordinasi dengan pemerintah pusat tampaknya berhasil meyakinkan pemilih di berbagai daerah.
Sementara itu, pengelolaan sumber daya kampanye yang efisien. Dengan dukungan partai-partai besar, KIM Plus memiliki akses ke jaringan relawan, dana kampanye, dan infrastruktur politik yang lebih luas dibandingkan kompetitor. Hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan kampanye yang lebih intensif dan menjangkau lebih banyak pemilih.
Tantangan
Namun, kemenangan KIM Plus ini juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi demokrasi Indonesia. Dominasi satu koalisi yang terlalu besar berpotensi melemahkan fungsi check and balance dalam sistem politik lokal.
Kekalahan PDIP di sejumlah basis tradisionalnya juga menunjukkan bahwa lanskap politik Indonesia sedang mengalami pergeseran signifikan.
“Belum diketahui sejauh mana efektivitas kekalahan PDIP berhubungan dengan kemudahan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah,” ungkapnya.
Di sisi lain, KIM Plus juga harus menghadapi kenyataan mengenai kesulitan meraih kemenangan di Jakarta. Hingga sekarang, perolehan suara pasangan Pramono Anung dan Rano Karno yang didukung PDIP lebih tinggi dari calon lainnya.
Walaupun hasil akhir Pilkada Jakarta mesih menunggu hasil real count KPU, perolehan suara dari calon PDIP itu enunjukkan bahwa pemilih di ibukota memiliki pertimbangan politik yang berbeda.
“Kenyataan ini menegaskan bahwa meskipun strategi koalisi gemuk efektif di banyak daerah, faktor lokalitas dan karakteristik pemilih tetap memegang peran penting,” pungkasnya.
Ke depan, tantangan terbesar bagi KIM Plus adalah membuktikan bahwa kemenangan telak mereka dapat diterjemahkan menjadi kepemimpinan yang efektif di daerah-daerah itu. Ekspektasi publik terhadap kepala daerah terpilih akan sangat tinggi, mengingat besarnya dukungan yang mereka peroleh dalam Pilkada.
BACA JUGA: Sufmi Dasco: KIM Tetap Solid Jelang Pilkada 2024
Terlepas dari berbagai pandangan kritis, strategi KIM Plus dalam Pilkada 2024 telah menunjukkan bahwa politik Indonesia semakin pragmatis dan berorientasi pada hasil. Kemampuan membangun koalisi luas, memilih kandidat tepat, dan mengkapitalisasi momentum politik nasional terbukti menjadi formula yang efektif dalam memenangkan kontestasi politik di tingkat lokal.
Pelajaran penting dari fenomena ini adalah bahwa kemenangan dalam Pilkada modern tidak lagi semata-mata bergantung pada kekuatan partai tunggal atau figur personal.
“Kemenangan itu dapat didasarkan pada kemampuan membangun dan mengelola koalisi besar yang solid, serta menghadirkan narasi politik yang relevan dengan aspirasi pemilih di tingkat lokal,” terangnya.
(Agus irawan/Usk)