TASIKMALAYA, TEROPONGMEDIA.ID — Rajapolah merupakan wilayah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, yang telah lama dikenal sebagai pusat kerajinan tangan rumahan. Simak sejarah perkembangan kerajinan tangan Rajapolah, yang tetap bertahan di tengah arus modernisasi.
Kawasan ini terkenal dengan produk anyamannya dan memiliki potensi besar sebagai pusat budaya seni kerajinan tradisional, sekaligus menjadi lokasi promosi dan pemasaran yang telah mendunia. Letaknya yang strategis menjadikan Rajapolah sebagai pusat kerajinan dan pemasaran yang efektif dalam menggerakkan ekonomi kreatif.
Berbagai toko suvenir dan kerajinan berjajar di sepanjang jalur utama dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah, menjadikannya rute penting menuju destinasi wisata seperti Pangandaran dan Cipatujah. Hal ini membuka peluang ekonomi bagi warga Rajapolah untuk memasarkan produk mereka hingga ke tingkat nasional dan internasional.
Keterampilan menganyam di Rajapolah telah diwariskan turun-temurun dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat setempat. Berbagai bentuk anyaman yang dihasilkan menciptakan karya seni yang unik, memberikan ciri khas tersendiri bagi produk Rajapolah. Bahan baku yang digunakan beragam, antara lain bambu halus, mendong, dan pandan, dengan anyaman dari pandan dan bambu halus yang paling umum ditemui.
Sejarah Kerajinan Tangan Rajapolah
Mengutip Ragam Handicraft Rajapolah, awal mula anyaman pandan di Kecamatan Rajapolah bermula sekitar tahun 1915, ketika masyarakat setempat banyak memproduksi tikar. Tikar tersebut dikenal dengan nama tikar aria, yang terdiri dari dua lapisan untuk memberikan kenyamanan saat digunakan.
Lapisan atas lebih halus (disebut halusan) dibandingkan lapisan bawah (kasaran). Saat itu, pewarna yang digunakan berasal dari bahan alami, sehingga pilihan warnanya terbatas, seperti merah, coklat tua, merah darah, dan kuning.
Perkembangan anyaman pandan semakin pesat pada tahun 1920 ketika Haji Sidik, seorang warga Kampung Cibereko, mulai memproduksi tudung. Dukungan dari pemerintah setempat, termasuk partisipasi dalam pameran Jaareurs (pasar malam) di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, turut memperluas pasar anyaman Rajapolah hingga ke luar negeri, bahkan sempat diekspor ke Belanda.
Pada tahun 1925, sekelompok orang Prancis mendirikan perusahaan bernama Olivier yang membeli tudung dalam jumlah besar dengan harga lebih tinggi dari biasanya. Hal ini mendorong banyak warga beralih menjadi perajin.
Namun, Olivier kemudian tutup tanpa alasan yang jelas, dan orang-orang Prancis tersebut kembali ke negara mereka. Kondisi ini memukul perajin lokal karena tidak ada lagi pembeli skala besar. Meski begitu, kerajinan tetap bertahan berkat pedagang luar kota yang mengumpulkan hasil anyaman untuk dijual di daerah lain. Namun, lambat laun produksi menurun karena kurangnya pasar, sehingga banyak perajin memilih merantau.
Titik balik terjadi pada tahun 1962 ketika Di’mat Sastrawiria mulai membuat berbagai produk anyaman baru seperti tas, dompet, kipas, dan tempat pensil. Inovasi ini menghidupkan kembali kerajinan anyaman Rajapolah.
Keterampilan menganyam terus diwariskan, dan beberapa perajin berhasil mengembangkan usaha pemasaran, salah satunya adalah keluarga Ir. H. Yayang Waryan yang mewarisi usaha dari kakeknya. Perusahaan mereka menerima pesanan dari berbagai daerah seperti Jakarta dan Bali, bahkan hingga ke luar negeri.
BACA JUGA
4 Nilai Strategis Kesenian Tarawangsa yang Masuk Kategori Warisan Budaya Takbenda
Domba Garut: Primadona Peternakan dan Warisan Budaya Jawa Barat
Masa keemasan anyaman Rajapolah terjadi sekitar tahun 1990-an, di mana peran pedagang sangat dominan dalam industri ini. Mereka menguasai rantai pasok, mulai dari penyediaan bahan baku hingga pemasaran produk jadi. Sementara itu, sebagian besar perajin hanya memiliki keterampilan dan alat produksi tanpa akses pemasaran yang memadai.
Kondisi ini sering merugikan perajin karena pedagang cenderung mengambil keuntungan besar tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pembuatnya. Namun, perajin tetap bergantung pada mereka karena belum ada alternatif penyalur yang lebih adil.
Fenomena ini terus berlanjut hingga era 2000-an, di mana persaingan di pasar ekspor semakin ketat. Pedagang memesan produk dalam jumlah besar dengan desain khusus, mendorong pengusaha kerajinan menurunkan harga untuk mendapatkan pesanan. Pembayaran biasanya dilakukan secara bertahap, yaitu uang muka di awal dan pelunasan setelah barang selesai.
(Aak)