JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029.
Menurutnya, justru merendahkan wibawa MK sebagai lembaga hukum tertinggi dalam pengujian undang-undang.
Rifqi melanjutkan, MK telah bertindak di luar kewenangannya dengan membentuk norma baru melalui putusan tersebut, sesuatu yang seharusnya menjadi ranah legislatif.
“Mahkamah justru menurunkan derajatnya sendiri. Dari yang seharusnya hanya menguji konstitusionalitas sebuah norma terhadap UUD, malah berubah menjadi lembaga pembentuk norma,” ujarnya di Gedung DPR RI, Senin (07/07/2025).
Ia menekankan, melalui sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan untuk membuat hukum berada di tangan Presiden dan DPR sebagai pembentuk undang-undang. Karena itu, ia melihat MK telah melampaui batas dengan mengambil alih peran konstitusional tersebut.
BACA JUGA:
Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Diapresiasi Komnas HAM Dianggap Meringankan
Surya Paloh Respon Pemisahan Pemilu: Teledor dan Pencurian Kedaulatan Rakyat!
Rifqi juga menyoroti inkonsistensi MK dalam memutus perkara yang menyangkut obyek yang sama. Ia menyebut Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dan daerah, bertentangan dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Kedua perkara itu, lanjutnya, diajukan oleh pemohon yang sama, yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
“Jika sebuah putusan dapat diajukan judicial review lagi dan menghasilkan keputusan berbeda, maka sifat final dan mengikat dari putusan MK menjadi dipertanyakan. Inilah yang menjadi kritik utama kami terhadap MK,” jelas Rifqi.
Politikus Partai NasDem itu menjelaskan bahwa pada tahun 2019, MK menyerahkan keputusan soal model keserentakan pemilu kepada pemerintah dan DPR melalui pendekatan open legal policy.
Namun, melalui putusan yang terbaru, MK justru secara langsung menentukan model keserentakan tersebut.
“Pemilu serentak 2024 dilaksanakan berdasarkan panduan dari Putusan MK No. 55/2019, baik itu pemilihan presiden, legislatif, maupun pilkada. Sekarang, MK justru bertindak menentukan model pemilu secara sepihak, padahal itu seharusnya wewenang legislatif,” tambahnya.
Atas dasar itu, Rifqinizamy dan Fraksi NasDem menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan tersebut, meskipun belum ada sikap resmi yang diambil oleh DPR maupun Komisi II.
“Secara institusional, DPR maupun Komisi II belum menyatakan posisi. Tapi saya secara pribadi sebagai anggota Fraksi NasDem sudah punya sikap,” ujar Rifqi.
Ia menegaskan bahwa bila putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 tetap dijalankan, maka hal itu justru berpotensi melanggar konstitusi
“Sikap partai kami jelas, jika kita menindaklanjuti putusan tersebut, maka itu berarti kita ikut serta dalam pelanggaran konstitusi,” pungkasnya.
(Saepul)