JAKARTA, TEROPONGMEDDIA.ID — Rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) 10.000 karyawan Panasonic Holdings secara global menimbulkan kekhawatiran serius di Indonesia.
Diketahui, jumlah PHK massal Panasonic tersebut Separuhnya akan dilakukan di Jepang, sementara sisanya menyasar tenaga kerja Panasonic di luar negeri.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan kekhawatiran atas potensi dampak kebijakan global ini terhadap pekerja Panasonic di Indonesia.
“Sampai saat ini memang belum ada pengumuman resmi mengenai PHK di Indonesia. Namun, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan adanya PHK, terutama bagi pekerja kontrak dan sebagian kecil pekerja tetap,” kata dia dalam keterangannya, diterima Selasa (13/5/2025).
Saat ini, kata Said Iqbal, terdapat sekitar 7.000 hingga 8.000 pekerja Panasonic di Indonesia yang tersebar di tujuh pabrik, yaitu dua di DKI Jakarta, dua di Bekasi, satu di Bogor, satu di Pasuruan, dan satu di Batam. Jenis industri yang dijalankan meliputi pabrik baterai, alat kesehatan, peralatan rumah tangga, hingga distribusi elektronik bermerek Panasonic.
Baca Juga:
Ribuan Pabrik di Karawang Tutup Info Lowongan Kerja ke Disnakertrans, Ada Apa?
Hambat Transisi Energi, Sri Mulyani Tekankan Antisipasi Dampak Ekonomi Global
“Buruh Panasonic di Indonesia saat ini diliputi kekhawatiran. Jangan sampai kebijakan PHK global dijadikan alasan untuk melakukan PHK massal di Indonesia, apalagi terhadap pekerja yang statusnya kontrak atau outsourcing. Pemerintah harus segera bertindak, jangan menunggu gejolak,” tegasnya.
KSPI dan Partai Buruh mendesak pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan pemerintah daerah di lokasi pabrik untuk segera melakukan langkah antisipasi, termasuk membuka dialog dengan manajemen Panasonic dan serikat pekerja untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak buruh.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi dan pelibatan serikat pekerja dalam setiap proses restrukturisasi atau efisiensi, guna mencegah PHK sepihak yang merugikan buruh.
“Kita minta ada audit dan pengawasan ketat, serta jaminan bahwa buruh tidak menjadi korban dari keputusan bisnis global,” tutup Iqbal.
(Dist)