BANDUNG,TM.ID: Perang antara Israel dan kelompok Hamas Palestina di Jalur Gaza telah melampaui seratus hari, meninggalkan kehancuran dan penderitaan kemanusiaan hingga hari ini Minggu (14/1/2024).
Menurut laporan terbaru dari Aljazeera, lebih dari 23.843 jiwa di Gaza telah kehilangan nyawa mereka sejak konflik membara pada 7 Oktober 2023.
Dalam rentang 100 hari ini, warga Gaza bukan hanya kehilangan keluarga dan tempat tinggal, tetapi juga hak hidup bebas dan aman.
Infrastruktur kota Gaza hancur berantakan, rumah sakit menjadi sasaran serangan, dan akses mendasar seperti air bersih dan makanan menjadi barang langka.
BACA JUGA: Terparah dalam Sejarah Perang, 109 Jurnalis Palestina Tewas Ditangan Israel
Konflik ini tidak muncul begitu saja. Wacana ketegangan antara Israel dan Palestina sudah terjalin sejak tahun 1917, ketika pemerintah Inggris mendukung pendirian rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina.
Keputusan tersebut menimbulkan ketegangan dan perlawanan dari masyarakat Palestina, memicu konflik berkepanjangan yang melibatkan ekspansi wilayah dan tindakan kekerasan.
Kembali ke masa kini, wilayah utara dan pusat Gaza menghadapi krisis kemanusiaan yang memprihatinkan. Diperlukan 1.300 truk makanan setiap hari, sementara sebelum perang, rata-rata 2.000 truk masuk melalui perbatasan Rafah di selatan. Krisis semakin diperparah dengan penurunan jumlah truk tersebut, mengakibatkan hampir setengah penduduk mengalami kelaparan.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ahraf al-Qudra, menyampaikan keprihatinan atas kondisi kritis di Rafah.
“Infrastruktur dan layanan kesehatan di Rafah rapuh, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan 1,3 juta warga dan pengungsi,” ujarnya.
Kekacauan terjadi di sektor kesehatan, dengan hanya enam ambulans yang dapat beroperasi di seluruh Jalur Gaza. Fasilitas dan infrastruktur yang terbatas membuat banyak pasien tidak mendapat perawatan yang memadai.
Di Al-Aqsa Martyr Hospital, bahan bakar untuk generator habis, meninggalkan pasien di ICU dalam risiko kematian.
Israel, meski dihadapkan dengan tekanan internasional dan tuduhan genosida, belum menunjukkan keinginan untuk menghentikan perang.
Beberapa negara telah menyeret Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ), sementara Israel tetap bersikeras bahwa perang Gaza adalah tindakan pembelaan yang sah.
Sementara itu, dukungan terhadap Hamas datang dari beberapa kelompok di negara lain. Kelompok Houthi di Yaman, yang bersekutu dengan Iran, menargetkan pelayaran internasional di Laut Merah.
Respons AS dan Inggris terhadap serangan Houthi mengacu pada kekhawatiran akan konflik regional yang dapat merugikan perdagangan internasional melalui Laut Merah.
Dalam 100 hari perang Gaza, perhatian dunia kini terpecah antara konflik di Timur Tengah dan kekhawatiran terhadap stabilitas jalur perdagangan internasional.
Sementara Amerika terus melakukan serangan ke Houthi, dan Israel menyangkal tuduhan genosida, warga Gaza terus menderita dan kehilangan segalanya.
(Dist)