SUMUT, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam tradisi Batak, menyebutkan marga bukan sekadar soal nama keluarga. Ia mencerminkan garis keturunan, norma sosial, bahkan struktur identitas yang telah hidup sejak ratusan tahun lalu. Sosok Si Raja Batak, nenek moyang purba yang diyakini menghuni Pusuk Buhit adalah titik awal dari semua sistem marga yang berkembang hingga sekarang
Menurut buku Situmorang & Th. (2023), seluruh marga Batak bermuara pada dua figur legendaris: Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon, anak dari Si Raja Batak. Dari keduanya, lahirlah dua cabang besar marga: Golongan Bulan (atau Lontung) dan Golongan Matahari (atau Sumba), masing-masing melahirkan puluhan hingga ratusan marga turunannya
Misalnya, dari garis Saribu Raja (keturunan Guru Tatea Bulan), muncul marga-marga seperti Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, hingga Siregar. Sementara dari garis Raja Isumbaon muncul Sitorus, Manurung, Saragi, Simbolon, Sitanggang, Tampubolon, Simanjuntak, dan lainnya
Sistem marga Batak bersifat patrilineal: anak mewarisi marga dari ayahnya. Wanita Batak tetap memegang marga kelahirannya dan setelah menikah dianggap bagian dari marga suami sebagai boru, tapi tidak mewariskan marga kepada anak-anaknya
Dalam konteks adat dan interaksi sosial, marga menjadi pedoman utama. Perkawinan dengan seseorang dari marga yang sama, bahkan yang secara silsilah jauh dilarang ketat dan dianggap incest. Interaksi antara marga saling dijaga agar tetap hormat melalui sistem Dalihan Na Tolu, falsafah Batak yang menekankan:
־ Somba marhula-hula: menghormati pihak istri
־ Manat mardongan tubu: kehati-hatian terhadap sesama marga
־ Elek marboru: menjaga pihak wanita dan keluarga marga istri
BACA JUGA
Tradisi Unik Batak Toba: Menggali dan Memindahkan Tulang Leluhur Lewat Mangongkal Holi
Selain hubungan darah, ada juga perjanjian ikrar antar‑marga, yang disebut Dongan Sapadan. Marga-marga seperti Panjaitan–Manullang, Marbun–Sihotang, atau Sitorus–Hutajulu/Sitompul menjalin persaudaraan ikrar yang lebih kuat dari hubungan darah, hingga anak-cucu dianggap saudara sejati walau bukan satu garis keturunan
Peran marga di masyarakat Batak begitu luas: ia menandai identitas, menjadi dasar adat pernikahan dan kematian, serta jejaring solidaritas sosial. Dalam perantauan, orang Batak sering saling mendekatkan diri berdasarkan marga yang sama, ini biasa disebut Martudung atau Pariban, konvensi sosial untuk mempererat hubungan pertemanan semarga.
“Tarombo”, silsilah marga dari leluhur hingga saat ini dipelihara untuk memastikan kaum muda memahami asal-usul mereka. Tanpa tarombo, seseorang bisa dianggap nalilu, terasing dari identitas batinnya sendiri.
Sumber: Situmorang, P. D. J., & Th, M. (2023). Asal-Usul, Silsilah dan Tradisi Budaya Batak. Penerbit Andi.
(Aak)