BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah gempuran modernisasi, ada satu benda yang masih berdiri tegak sebagai simbol identitas orang Sunda: kujang.
Tetapi jangan salah, ini bukan sekadar senjata tajam. Kujang adalah pusaka, penuh filosofi, dan dipercaya punya kekuatan yang tak bisa dilihat mata biasa.
Menurut kajian akademis Kurniawan (2014), kujang sudah eksis sejak masa Kerajaan Pajajaran. Namun, fungsinya jauh melampaui alat bertarung. Para bangsawan dan prajurit kerajaan memakai kujang sebagai lambang kehormatan.
Bentuknya yang melengkung dan penuh lekukan bukan desain asal-asalan. Setiap sudutnya punya makna simbolik.
Bahkan, jenis-jenis kujang punya nama masing-masing: ada kujang ciung, kujang jago, hingga kujang kuntul, semua menggambarkan karakter dan fungsi yang berbeda.
Filosofinya dalam juga. Seperti diungkap dalam penelitian Wulan dan Nurhayati (2021), empu kujang legendaris Abah Wahyu menyebut bahwa setiap lekukan kujang mencerminkan cipta, rasa, dan karsa, tiga nilai utama dalam hidup masyarakat Sunda.
Dan yang bikin merinding, pembuatan kujang enggak bisa sembarangan. Ada ritual tertentu sebelum logam dibentuk jadi senjata.
Bukan hanya soal ketajaman, tapi tentang kekuatan spiritual. Konon, kujang bisa jadi pelindung dari hal-hal gaib. Bahkan ada yang percaya, benda ini bisa “bicara” lewat mimpi atau firasat.
Fakta uniknya? Kujang tidak bisa dipegang sembarangan. Di banyak tempat, kujang disimpan dalam ruang khusus dan cuma boleh disentuh oleh orang-orang tertentu. Sakral banget.
BACA JUGA
Nata Daya, Program Penguatan Seni Budaya di Kabupaten Kuningan
4 Nilai Strategis Kesenian Tarawangsa yang Masuk Kategori Warisan Budaya Takbenda
Di masa kini, kujang tampil di mana-mana: jadi lambang kota, ornamen kantor pemerintahan, sampai suvenir khas Jawa Barat.
Namun satu yang pasti, nilai-nilai yang dibawanya tetap sama, yakni keberanian, ketajaman berpikir, dan penghormatan pada leluhur.
Kujang bukan cuma ikon budaya, tetapi juga pengingat bahwa kekuatan sejati enggak selalu datang dari senjata, tapi dari makna yang kita tanamkan padanya.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)