JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara menanggapi dugaan praktik kartel bunga pinjaman online (pinjol) atau industri fintech lending yang tengah diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
OJK menjelaskan, bahwa penetapan batas maksimum bunga atau manfaat ekonomi pada pinjol legal bukanlah hasil kesepakatan antar pelaku industri, melainkan merupakan arahan OJK.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman menyatakan bahwa kebijakan pembatasan bunga sudah disampaikan melalui surat resmi.
“Penetapan batas maksimum manfaat ekonomi tersebut ditujukan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat dari suku bunga tinggi sekaligus membedakan pinjaman online legal (Pindar) dengan yang illegal (Pinjol),” kata Agusman dalam keterannya, Selasa (10/6/2025).
Penetapan batas manfaat ekonomi ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat dari bunga pinjaman yang terlalu tinggi.
Baca Juga:
Lesu di Libur Panjang, Kota Bandung Sepi Pengunjung
Menteri Amran Menduga Ada Mafia Pangan Yang Manipulasi Data Beras
Kebijakan ini juga bertujuan untuk memperjelas pembeda antara penyelenggara pinjol legal yang terdaftar dan diawasi oleh OJK (dikenal juga sebagai Pindar) dengan pinjol ilegal yang marak beroperasi tanpa izin.
OJK menegaskan bahwa langkah-langkah pengawasan tetap berjalan secara berkelanjutan. Hal ini mencakup penegakan kepatuhan terhadap seluruh ketentuan yang berlaku, termasuk evaluasi berkala terhadap batas manfaat ekonomi yang diterapkan oleh penyelenggara pinjaman daring.
Agusman menyebut, pendekatan ini dilakukan agar masyarakat tetap merasa aman dalam menggunakan layanan fintech lending, serta memastikan agar penyelenggara mematuhi prinsip-prinsip perlindungan konsumen.
“Dengan demikian, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap Pindar dapat terjaga dengan baik,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua KPPU, Fanshurullah Asa menyatakan, pihaknya mendapat temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi. Penyelidikan KPPU mengungkap ada dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI),” kata Fanshurullah Asa dalam keterangannya, Selasa (29/4/2025).
Temuan KPPU menyampaikan, para anggota asosuasi menetapkan tingkat bunga pinjaman, meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari. Hal ini dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4 persen per hari pada 2021.
“Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama tahun 2020 hingga 2023. Ini dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen,” kata dia.
Dalam melakukan penyelidikan, KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar, hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan pola Peer-to-Peer (P2P) Lending, menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital.
(Dist)