BOGOR, TEROPONGMEDIA.ID — Sebuah gua alam yang dikenal dengan berbagai nama—Gua Stone di Google Maps, Gua Pocong oleh masyarakat setempat, Tebing Arpan bagi pegiat panjat tebing, dan Gua Gugula dalam peta Belanda tahun 1901.
Aktivitas pertambangan menjadi ancaman tersendiri atas keberadaan gua stone yang lebih dikenal dengan sebutan Gua Pocong ini.
“Keberadaanya nyaris hilang oleh kegiatan tambang, di Klapanunggal, Kab, Bogor,” mengutip unggahan Instagram Deni Sugandi, Selasa (15/7/2025).
Terletak tak jauh dari Jakarta, Gua Pocong menawarkan pesona alam menakjubkan dengan stalaktit dan stalagmit yang memanjakan mata, sekaligus menjadi spot fotografi yang menarik.

Gua ini juga populer di kalangan pencinta olahraga ekstrem sebagai lokasi panjat tebing.
Namun, akses menuju gua ini tidak mudah. Jalanan berlumpur membuat kendaraan biasa sulit melintas, kecuali menggunakan motor atau kendaraan off-road.
Pengunjung disarankan membawa bekal makanan dan minuman karena tidak ada warung di sekitar lokasi.
Keunikan lain Gua Pocong adalah minimnya sinyal telepon, menguatkan kesan “tersembunyi” destinasi ini.
BACA JUGA
BRIN Temukan Spesies Baru, Ikan Buta Tanpa Mata di Perut Bumi Karst Klapanunggal Bogor
Konferensi Internasional Gau Maraja Maros 2025 Bahas Warisan Prasejarah Kelas Dunia
Dengan pengunjung yang masih sepi, gua ini menjadi pilihan bagi yang ingin berwisata sambil menghindari kerumunan.
Meski gratis dan mudah dijangkau, tanpa perlu trekking jauh, eksistensi Gua Stone atau Gua Pocong Pocong ini tetap rentan akibat ekspansi industri tambang di sekitarnya.
Proses Terbentuknya Gua
Mengutip British Geological Survey, gua-gua kapur terbentuk melalui proses pelarutan batuan karbonat, terutama batu kapur, oleh air yang bersifat asam lemah. Air hujan yang menyerap karbon dioksida dari atmosfer berubah menjadi larutan asam karbonat.
Ketika meresap ke dalam tanah, air ini secara perlahan melarutkan batu kapur sepanjang retakan, bidang perlapisan, dan celah batuan. Proses ini, yang berlangsung ribuan hingga jutaan tahun, akhirnya membentuk lorong-lorong bawah tanah yang semakin meluas dan berkembang menjadi gua.
Pembentukan gua besar seringkali dipicu oleh aliran air dari formasi batuan kedap air di sekitarnya, seperti batu pasir atau batulempung. Air tersebut masuk ke dalam sistem batu kapur melalui celah yang dikenal sebagai “swallet” atau “slockers,” kemudian muncul kembali sebagai mata air di lokasi yang lebih rendah. Seiring waktu, aliran air mencari jalur baru yang lebih dalam, meninggalkan lorong-lorong gua kering di tingkat yang lebih tinggi.
Struktur gua sangat dipengaruhi oleh kondisi geologis setempat. Batu kapur yang padat cenderung membentuk gua dengan lorong vertikal (freatik), sedangkan batuan yang banyak retakan menghasilkan sistem gua horizontal yang lebih kompleks.
Setelah mencapai muka air tanah, lorong gua biasanya mengikuti aliran air bawah tanah, membentuk ruang-ruang dengan profil melingkar khas.
Erosi di muara mata air dapat memicu pembentukan gua baru di elevasi lebih rendah, sementara lorong-lorong lama ditinggalkan dan menjadi fosil. Gua-gua yang terbengkalai ini dapat mengalami modifikasi lebih lanjut melalui proses keruntuhan, pengendapan sedimen, atau pertumbuhan stalaktit dan stalagmit.
Stalaktit dan stalagmit terbentuk ketika air yang kaya kalsium karbonat menetes ke dalam ruang gua. Pelepasan karbon dioksida menyebabkan pengendapan mineral, yang secara bertahap membentuk ornamen-ornemen khas gua kapur. Studi terhadap lorong-lorong gua yang terbengkalai dapat memberikan wawasan tentang sejarah hidrologi dan perubahan muka air tanah di masa lalu.
(Aak)