BANDUNG, TM.ID: Kasus manipulasi data zonasi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di Kota Bogor, sejatinya sudah terendus DPRD Provinsi Jawa Barat sejak beberapa waktu lalu.
Manipulasi data zonasi PPDB 2023 para jenjang pendidikan SMP itu terkuak berdasarkan hasil sidak Wali Kota Bogor, Bima Arya. Sesuai prediksi, temuan manipulasi data zonasi PPDB 2023 di Kota Bogor itu ternyata menjadi polemik yang ramai jadi bahan perdebatan.
Atas kasus itu, Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya menuturkan, PPDB memang harus menjalani evaluasi secara menyeluruh karena banyak celah yang dapat diakali dari sistem ini.
Mengakali sistem zonasi hanya salah satunya, sehingga dia meminta, pemerintah pusat dapat mengkaji ulang agar masalah menahun ini tidak lagi terulang di masa mendatang.
Dia berharap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud) dapat merombak ulang skema PPDB. Sebab, pada kenyataannya hingga saat ini tidak ada perbaikan signifikan dalam peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
“Klasik sebenarnya. Saya belum melihat ada pergeseran serius dalam penanganannya. Ternyata banyak yang mengakali pindah KK (Kartu Keluarga). Setelah masuk (sekolah), kembali ke alamat lama,” kata Hadi, di kantor DPRD Jabar, Jalan Diponegoro Kota Bandung.
Secara hukum, lanjut dia, akal-akalan seperti itu ini tidak ada yang dilanggar. Namun jelas banyak dikeluhkan oleh banyak pihak. Sekolah sendiri tidak bisa melakukan pengecekan, karena tidak ada kewenangan.
“Ini harus jadi bahan evaluasi,” ujar Hadi.
Polemik ini sambung Hadi tidak seberapa, ketimbang dengan adanya dugaan jual beli kursi di sekolah. Contoh kata dia, rerata dalam satu kelas menyediakan 32-36 kursi bagi siswa.
Lalu oknum sekolah merilis dalam PPDB hanya menyediakan 32 bangku dalam satu kelas, padahal ada 36. Sisa empat kursi ini akhirnya diperjualbelikan.
Tidak adanya aturan baku dari Kemdikbud akan ketetapan jumlah kursi di tiap kelas ini tutur Hadi, dijadikan peluang oleh oknum tertentu di sekolah untuk menangguk keuntungan pribadi.
“Ada indikasi dijualbelikan. Makanya harus disebutkan sejak awal. Kalau ruang kelas ada 36 kursi, ya 36 sejak awal. Inspektorat (Kemdikbud), harus ada pengontrolan bahwa jumlah siswa yang masuk (PPDB) dan hadir harus sama. Ini masih banyak terjadi, termasuk (siswa) titipan. Saya komunikasi dengan komite sekolah, praktisi pendidikan, kepala sekolah, ternyata masih ada pejabat tertentu (memanfaatkan) fasilitas yang ada,” ucapnya.
Maka dari itu menurutnya sistem ini harus dievaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah pusat melalui Kemdikbud, agar tidak terjadi lagi kecurangan memanfaatkan lemahnya regulasi dari PPDB.
“Konsep PPDB yang dicanangkan kementerian, perlu evaluasi besar di tingkat pusat. (Sebab) Kami dari Komisi V melihat, belum ada perbaikan yang signifikan (dari tahun ke tahun),” pungkasnya.
BACA JUGA: Marak Pungli PPDB SMA di Jabar, 4 Kepsek Disanksi Berat
(Dang Yul)