PURWAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Suara gemerincing angklung, dentuman bedug, dan tabuhan kendang mengiringi arak-arakan warga yang bergerak khidmat menuju sumber mata air. Inilah awal dari Domyak, sebuah ritual sakral pemanggil hujan asli Purwakarta yang telah mengalir dalam darah masyarakatnya turun-temurun.
Mengutip Instagram Budaya Jabar, ritual yang pada era 1920-an dikenal sebagai “buncis” ini, menjelma menjadi Domyak sekitar tahun 1990, merangkum makna “ngadogdog” (bermain dogdog) dan “rampayak” (menari).
Lebih dari sekadar tradisi, Domyak adalah cermin hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dilakukan terutama saat musim kemarau panjang melanda, ritual ini menjadi wujud permohonan tulus masyarakat agar hujan kembali menyuburkan bumi.
Keunikan dan nilai kearifan lokalnya yang mendalam mengantarkan Domyak pada pengakuan resmi: ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2019 melalui Surat Keputusan Nomor 362/M/2019.
Prosesinya adalah sebuah pentas hidup. Diiringi orkestra tradisional yang terdiri dari angklung, bedug, kendang, dan gong, para peserta menampilkan atraksi khas seperti bebelokan, momonyetan, dan seseroan. Setiap gerakan bukanlah sekadar tarian, melainkan simbolisasi harapan akan tetesan hujan yang dinantikan.
BACA JUGA
Ritual Ngertakeun Bumi Lamba 2025 Siap Digelar 22 Juni di Puncak Gunung Tangkuban Parahu
Wayang Geugeus Kota Banjar: Inovasi Seni dari Jerami yang Menghidupkan Tradisi Ngabumi
Puncak keunikannya terletak pada ritual memandikan kucing. Binatang ini dipercaya kuat sebagai simbol pemanggil hujan, sekaligus menjadi metafora pendidikan tentang pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar.
Sejak pertama kali dikenal pada dekade 1920-an, Domyak terus dirawat dan dilestarikan. Ritual tua ini bukan hanya tentang memanggil hujan, tetapi juga tentang merajut benang merah penghormatan kepada alam dan mewariskan nilai-nilai luhur kepada generasi demi generasi di Purwakarta.
(Aak)