CIREBON, TEROPONGMEDIA.ID — Julukan Kota Wali melekat erat pada Cirebon, kota pesisir utara Jawa yang menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Nusantara. Di balik gelarnya, tersimpan kisah monumental Syekh Syarif Hidayatullah, atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati – salah satu tokoh Wali Songo yang makamnya hingga kini menjadi magnet wisata religi.
Lahir di Makkah pada 1448 Masehi, Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin, Sultan Champa, dan Nyai Rara Santang – putri Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Sejak kecil, darah bangsawan dan spiritual mengalir dalam dirinya. Ibunya, setelah memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Syarifah Muda’im dan menetap di Mesir bersama suaminya.
Di usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah memulai pengembaraan intelektual: nyantri di Makkah, berguru pada ulama Pasai, lalu bergabung dengan Sunan Ampel di Surabaya sebelum akhirnya tiba di Cirebon.
Pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Tumenggung Cirebon ke-2 dengan gelar Maulana Jati. Ia tak hanya memimpin politik, tetapi juga membangun pusat dakwah di Gunung Jati.
Pernikahannya dengan Nyai Ageng Tepasari – keturunan Raja Majapahit Brawijaya V – memperkuat jejaring kekuasaannya, sekaligus melahirkan dinasti Kesultanan Cirebon.
Di bawah kepemimpinannya, Islam menyebar hingga Banten, Galuh, dan Pajajaran, mengubah peta spiritual Jawa Barat.
Kompleks Makam Gunung Jati: Simbol 9 Pintu dan Warisan Abadi
Makam Sunan Gunung Jati, yang terletak di Kecamatan Gunung Jati, bukan sekadar situs sejarah. Kompleks ini memiliki sembilan pintu – simbol Wali Songo – yang hanya boleh dilalui oleh peziarah dengan niat suci.
Hingga kini, lokasi ini ramai dikunjungi, baik sebagai destinasi religi maupun napak tilas perjuangan sang wali.
Warisan Sunan Gunung Jati juga abadi melalui institusi pendidikan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Bahkan nama sang wali diabadikan dalam layanan Kereta Api Gunungjati (rute Semarang-Cirebon-Jakarta) yang akan beroperasi mulai 2025.
Kisah dari Naskah Kuno
Sejarah hidup Sunan Gunung Jati tercatat dalam manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis Pangeran Arya Cirebon pada 1720.
Naskah ini mengisahkan perjalanan spiritualnya dari Makkah, peran sebagai penyebar Islam, hingga strategi politiknya yang memadukan kebijaksanaan tasawuf dan kepemimpinan.
BACA JUGA
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan: Tokoh Sentral Pengembangan Pesantren di Tatar Sunda
Karomah Syekh Abdul Qadir Jailani: Menghidupkan Orang Mati dan 4 Karomah Lainnya
Cirebon Kini: Menjaga Warisan di Tengah Modernitas
Sebagai Kota Wali, Cirebon tak hanya mengandalkan masa lalu. Geliat religi tetap hidup: dari ritual tahunan di makam Sunan Gunung Jati hingga tradisi Panjang Jimat. Bagi para profesional dan akademisi, jejak sang wali menginspirasi integrasi nilai spiritual dalam kehidupan modern.
“Sunan Gunung Jati mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari ketaatan pada Ilahi dan kepedulian pada manusia,” ujar seorang pengurus makam. Pesan inilah yang membuat Cirebon tetap relevan – bukan hanya sebagai kota sejarah, tetapi sebagai laboratorium harmoni agama dan budaya.
Dari Makkah ke Gunung Jati, kisah Sunan Gunung Jati adalah narasi tentang dedikasi tanpa batas. Di setiap peninggalannya, tersirat pesan: Islam tak hanya hadir melalui ajaran, tetapi juga teladan. Cirebon, dengan segala kesederhanaannya, tetap berdiri sebagai bukti: warisan para wali takkan pernah lapuk oleh zaman. (Sumber: Laman Pemkab Cirebon dan sejumlah sumber lainnya).
(Aak)