BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Di saat dunia masih berkutat mencari baterai lithium-ion yang lebih tahan lama dan cepat isi ulang, China justru mengambil jalur yang jauh lebih radikal, menghapus kebutuhan isi ulang sepenuhnya.
Sebuah perusahaan rintisan bernama Betavolt baru saja membuka pintu bagi era baru penyimpanan energi dan bisa jadi, mereka baru saja mengetuk pintu kehancuran bagi industri baterai seperti yang kita kenal selama ini.
Bukan cuma soal efisiensi. Ini soal mengganti paradigma.
Teknologi bernama BV100 ini bukan sekadar inovasi, tapi bentuk gangguan besar (disruption). Dengan ukuran hanya 15x15x5 mm, lebih kecil dari korek api gas baterai nuklir ini mampu menyuplai energi konstan selama 50 tahun, tanpa perlu dicas, tanpa perawatan, dan tanpa risiko meledak.
Mereka tidak menggunakan lithium, melainkan isotop radioaktif nikel-63 yang meluruh secara alami dan menghasilkan energi.
Radiasi dari peluruhan itu dikonversi menjadi listrik menggunakan semikonduktor berlian supertipis. Semuanya dikemas aman tanpa emisi radiasi keluar, berkat teknologi pelindung yang canggih.
Baterai tanpa charger, siap menghapus ekosistem lama dengan banyak keunggulan, seperti tak perlu charger, tak ada stasiun pengisian daya, isi ulang dan baterai seumur hidup perangkat.
Baca Juga:
Gudang Baterai Lithium Terbesar di Dunia Kebakaran
Semuanya bertentangan langsung dengan bisnis model produsen smartphone, power bank, bahkan infrastruktur pengisian daya kendaraan listrik.
Betavolt bahkan mengklaim bahwa versi 1 watt dari baterai mereka siap meluncur akhir 2025. Ini mungkin belum cukup untuk kendaraan listrik penuh, tapi sudah cukup untuk menghancurkan pasar baterai perangkat kecil dari jam tangan pintar, alat medis, sampai perangkat militer dan IoT.
Banyak pihak selama ini terlalu nyaman dengan dominasi lithium-ion. Tapi seperti yang terjadi pada Kodak atau Nokia, terlalu nyaman bisa berujung pada kelumpuhan ketika inovasi datang dari arah tak terduga.
Betavolt mungkin hanya permulaan. Di China, sejumlah institusi seperti Northwest Normal University dan Wuxi Beita Pharmatech sedang mengembangkan baterai sejenis dengan material dan ketahanan yang lebih ekstrem.
Di luar China, ada Arkenlight (UK) dan City Labs (AS), tapi sejauh ini tidak ada yang mendekati skala produksi massal seperti Betavolt.
Kekhawatiran soal radiasi nuklir masih menghantui publik. Tapi pakar nanoteknologi seperti Dr. Tahta Amrillah dari Universitas Airlangga menegaskan, selama peluruhan dikontrol dan tidak terjadi kebocoran, teknologi ini sangat aman. Apalagi isotop nikel-63 tak menghasilkan limbah nuklir berat.
Baterai ini tak bisa meledak, tak terbakar, dan tetap stabil dalam suhu -60 hingga 120 derajat Celsius.
Ketika teknologi ini matang dan skalanya tumbuh, ada satu pertanyaan penting: siapa yang akan tertinggal? Perusahaan produsen baterai lithium, raksasa ponsel pintar, perusahaan charger, hingga ritel penyedia daya cadangan harus bersiap menghadapi kenyataan baru.
(Budis)