JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menguat lewat dukungan dari dua tokoh besar seperti Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia.
Dengan dalih efisiensi dan pengendalian konflik horizontal, para pengusung wacana mengklaim bahwa sistem ini lebih rasional dibanding pemilihan langsung.
Argumen utama yang disampaikan oleh para pendukung usulan ini adalah tingginya biaya politik dalam pilkada langsung. Bahlil, misalnya, menyebut bahwa biaya tinggi dalam kontestasi politik justru memunculkan ketegangan sosial hingga merusak hubungan antarwarga.
Stetement Bahlil Ini bukan omong kosong. Beberapa studi menunjukkan bahwa kontestasi politik di tingkat lokal kerap menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial, terutama di daerah yang memiliki kompetisi elektoral tajam.
Namun efisiensi anggaran tidak seharusnya menjadi satu-satunya tolok ukur dalam menentukan arah demokrasi. Jika penghematan menjadi alasan utama, maka akan banyak aspek demokrasi yang dapat dipangkas dengan dalih serupa, mulai dari debat publik, kampanye terbuka, hingga pemungutan suara itu sendiri.
Baca Juga:
Ketua Fraksi Golkar Ingin Kepala Daerah Dipilih DPRD seperti Era Soeharto
Licin Bak Belut, Imigrasi Cabut Paspor “Godfather Of Oil” Riza Chalid
Demokrasi Representatif Tergerus?
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sejatinya bukan hal baru. Sistem ini pernah diterapkan pada era Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto, di mana kepala daerah dipilih secara tidak langsung oleh lembaga legislatif lokal yang notabene dikendalikan oleh elite partai politik. Akibatnya, lahir figur-figur birokratis yang minim akuntabilitas publik dan rawan praktik transaksional.
Dengan sistem ini, kepala daerah tidak perlu menjawab aspirasi warga cukup membina hubungan baik dengan elite fraksi di DPRD.
Wacana ini muncul dalam konteks yang sangat politis: menjelang revisi paket undang-undang politik dan dalam bayang-bayang pemilu nasional. Wacana ini bisa dibaca sebagai upaya elite partai untuk memperluas kendali atas jabatan strategis di tingkat lokal.
Partai politik besar akan sangat diuntungkan oleh sistem ini. Mereka dapat mengamankan posisi kepala daerah tanpa harus bersusah payah membangun basis massa atau berkompetisi secara terbuka. Situasi ini tentu akan menyulitkan partai-partai kecil dan calon independen, yang selama ini punya ruang di sistem pilkada langsung.
Secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2025 sudah menyatakan bahwa pilkada dan pemilu legislatif harus dilaksanakan serentak. Ini secara teknis menyulitkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena waktunya bersamaan dengan pemilu DPRD itu sendiri. Mekanisme pemilihan tertutup menjadi tidak mungkin.
Jika ingin mengubah sistem pilkada, maka perubahan undang-undang tidak cukup. Perlu juga dilakukan perubahan terhadap logika konstitusional dalam sistem pemilu kita. Proses ini akan memakan waktu dan melibatkan tarik-ulur politik yang besar di Senayan dan Mahkamah Konstitusi.
(Dist)