JAKARTA,TM.ID: Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengapresiasi capaian akademik anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding ,yang berhasil meraih gelar doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jawa Barat.
Bamsoet mengatakan, penelitian dari Sarifuddin mengenai rekonstruksi kebijakan penal aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi berdasarkan hukum pidana administrasi itu menunjukkan bahwa kebijakan tersebut masih kerap melahirkan perbedaan perspektif di antara aparat penegak hukum.
“Hasil penelitian menunjukkan kebijakan penal pemberantasan korupsi di Indonesia yang saat ini dilaksanakan oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di lapangan sering memunculkan perbedaan perspektif dan pemaknaan fungsi koordinasi dan supervisi,” kata dia.
BACA JUGA: Pinjaman Pake Konten YouTube, Sandi Uno: Perlu Kepercayaan Antar Stakeholder
Dengan demikian, kata dia, timbul kontra-produktivitas dalam usaha pemberantasan korupsi di Tanah Air. Kebijakan penal merupakan kebijakan yang dalam penyusunannya memanfaatkan sistem peradilan pidana.
Untuk mengatasi hal tersebut, penelitian dari Sarifuddin Sudding merumuskan bahwa harus ada perubahan pendekatan dan pola pikir terhadap aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, yakni dari pendekatan retributif yang menghukum guna menimbulkan efek gentar menjadi pendekatan restoratif, yakni pemulihan kerugian negara dari tindakan pelaku tindak pidana korupsi.
Hal tersebut dikemukakan Bamsoet usai menghadiri Sidang Terbuka Promosi Doktoral Sarifuddin Sudding di Bandung, Jawa Barat, Jumat.
BACA JUGA: Pinjaman Pake Konten YouTube, Sandi Uno: Perlu Kepercayaan Antar Stakeholder
Berikutnya, Bamsoet menyampaikan penelitian Sarifuddin juga menyoroti kurangnya pemahaman penyidik mengenai peraturan perundang-undangan administrasi terhadap tindak pidana yang diatur dalam berbagai undang-undang sektoral.
Misalnya, pelanggaran terhadap UU Kehutanan, UU Kepabeanan, UU Keimigrasian, UU Perpajakan, UU Lingkungan Hidup, UU Telekomunikasi, UU Perikanan, UU Pertambangan, UU Pasar Modal, dan UU Perbankan. Pemahaman yang kurang itu lalu mengakibatkan terjadinya inkonsistensi kebijakan penal aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi.
“Itu karena mereka menganggap Undang-Undang Tipikor sebagai undang-undang sapu jagat, padahal Pasal 14 Undang-Undang Tipikor yang menganut asas kekhususan yang sistematis tidak mengatur demikian. Oleh karena itu, dalam hasil penelitian ini, Pak Sudding juga menekankan rekonstruksi kebijakan penal pemberantasan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum berdasarkan hukum pidana administrasi harus diarahkan pada penguatan fungsi koordinasi dan supervisi aparat,” ucap Bamsoet.
Di samping itu, diperlukan pula perubahan paradigma penyidik dalam memahami ketentuan hukum pidana administrasi.
Selain Bamsoet, sidang promosi doktoral tersebut juga dihadiri beberapa pejabat dan legislator lain, di antaranya Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Kapolda Jawa Barat Irjen Polisi Suntana, dan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto.
(Dist)