BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mengungkap fenomena yang tak biasa soal kemiskinan di Indonesia. Di tengah geliat ekonomi nasional, ternyata kemiskinan di kota justru naik, sementara di desa menurun. Fakta ini terungkap dalam rilis resmi BPS, Jumat (25/7/2025), dan cukup mencuri perhatian publik.
Menurut laporan BPS, angka kemiskinan di wilayah perkotaan pada Maret 2025 meningkat dari 6,66% menjadi 6,73%. Sedangkan di perdesaan justru mengalami penurunan, dari 11,34% menjadi 11,03%.
“Jadi di desa lebih banyak yang miskinnya dibandingkan di kota,” ujar Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono dalam konferensi pers.
Penyebab Kota Semakin Miskin
Kenaikan angka kemiskinan di kota ternyata tidak berdiri sendiri. Ateng menjelaskan bahwa kondisi ini berkaitan langsung dengan lonjakan jumlah setengah pengangguran di wilayah perkotaan. Pada Februari 2025, jumlahnya meningkat sebesar 0,46 juta jiwa dibandingkan Agustus 2024.
Tak hanya itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) laki-laki juga ikut naik, dari 5,87% menjadi 6,06%.
“Kita ketahui laki-laki menjadi ujung tombak perekonomian maka kenaikan TPT di laki-laki akan berpengaruh tingkat kemiskinan di perkotaan,”
lanjut Ateng.
Kondisi ini semakin diperparah oleh kenaikan harga bahan pokok, seperti cabai rawit, minyak goreng, dan bawang putih. Ateng menyebut bahwa penduduk kota sangat rentan terhadap fluktuasi harga pasar, sebab mereka tidak memproduksi pangan sendiri.
“Penduduk kota identik tergantung dengan harga pasar karena penduduk kota kan umumnya tidak memproduksi sendiri sehingga kenaikan harga akan terpengaruh dengan daya beli terutama RT kelompok bawah ataupun miskin atau rentan miskin,”
jelasnya.
Baca Juga:
Agung Yansusan Desak Penegakan Tegas Perda Anti-Miras di Jawa Barat
Penurunan Angka Kemiskinan di Desa
Berbeda dengan kota, perdesaan justru menunjukkan tren positif. Penurunan angka kemiskinan di desa tak lepas dari meningkatnya nilai tukar petani yang berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat desa.
“Desa memiliki akses ke pangan dan produksi lokal dapat mengamankan konsumsi,”
ungkap Ateng.
Artinya, ketika harga-harga naik, desa memiliki keunggulan mereka bisa memproduksi sendiri kebutuhan dasar seperti pangan. Akses langsung terhadap produksi lokal membuat masyarakat desa lebih tahan terhadap guncangan ekonomi.
(Hafidah Rismayanti/Aak)