CIREBON, TEROPONGMEDIA.ID — Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan dikenal sebagai salah satu tokoh kunci dalam pengembangan pesantren di wilayah Tatar Sunda, meliputi Cirebon, Kuningan, Garut, dan Sukapura (Tasikmalaya).
Dengan keilmuan yang mendalam, jejaring yang luas, serta garis keturunan yang terhormat, Syeikh Abdul Muhyi memilih jalur pendidikan dan budaya (kultural) sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat Muslim, alih-alih menggunakan pendekatan konfrontatif seperti pertarungan politik atau perang.
Kontribusinya dalam pengembangan pendidikan dan masyarakat Muslim sangat signifikan, terutama dalam upaya “intensifikasi keilmuan Islam” sebagai langkah lanjutan dari proses “konversi Islam”.
Meski lebih fokus pada pendekatan kultural, Syeikh Abdul Muhyi tidak sepenuhnya mengabaikan aspek politik. Ia memanfaatkan kedekatannya dengan penguasa lokal untuk memperkuat penyebaran ajaran Islam dan pengaruh pendidikannya.
Hasilnya, Islam menyebar dengan cepat dan signifikan di wilayah-wilayah yang ia singgahi. Berbagai pesantren pun berkembang pesat, baik yang didirikan oleh keluarganya, keturunannya, maupun para muridnya.
Silsilah Syeikh Abdul Muhyi
Syeikh Abdul Muhyi lahir pada tahun 1650 M di Kotapraja Mataram Islam dari keluarga priyayi (menak) yang religius.
Ayahnya, Sembah Lebe Wartakusumah, adalah seorang Penghulu (Lebe) di Kerajaan Sumedang Larang yang juga mengabdi di Mataram sebagai pegawai keagamaan. Posisi Penghulu saat itu sangat prestisius karena merupakan bagian dari struktur kerajaan.
Pada masa kelahiran Abdul Muhyi, Kesultanan Mataram dipimpin oleh Sultan Amangkurat I, putra Sultan Agung yang berkuasa pada 1646-1677.
Masa pemerintahan Sultan Amangkurat I dikenal penuh kontroversi dan kekejaman, termasuk pembunuhan massal terhadap 6.000 kyai dan ulama yang dianggap memberontak.
Suasana politik yang penuh intrik dan konflik ini menjadi latar belakang masa kecil Abdul Muhyi.
Ayahnya, Sembah Lebe Wartakusumah, merupakan keturunan bangsawan Sunda-Galuh yang akhirnya memilih untuk “berkhalwat” atau mengasingkan diri di Kampung Dukuh, Garut Selatan.
Di sana, ia menjadi pembimbing dan pengembang masyarakat Muslim. Sementara itu, ibunda Abdul Muhyi, Raden Ajeng Tangenjiah, adalah keturunan bangsawan Mataram Islam yang memiliki garis nasab hingga Syeikh Ainul Yakin (Sunan Giri I).
BACA JUGA
Syekh Abdul Qadir al-Jailani: Sang Sultan Auliya dan Warisan Tasawuf Akhlaki
Karomah Syekh Abdul Qadir Jailani: Menghidupkan Orang Mati dan 4 Karomah Lainnya
Warisan dan Pengaruh yang Abadi
Dengan latar belakang keulamaan dan kebangsawanan yang kuat, Syeikh Abdul Muhyi berhasil meninggalkan warisan yang abadi bagi masyarakat Muslim di Tatar Sunda.
Pendekatannya yang mengedepankan pendidikan dan budaya terbukti efektif dalam menyebarkan Islam tanpa menimbulkan konflik.
Hingga kini, jejaring pesantren yang ia kembangkan masih terus berkembang, menjadi bukti nyata dari dedikasinya dalam membangun masyarakat Muslim yang berilmu dan berakhlak.
Meski beberapa aspek genealoginya masih memerlukan penelitian lebih lanjut, pengaruh Syeikh Abdul Muhyi dalam sejarah Islam di Jawa Barat tidak dapat dipungkiri.
Syeikh Abdul Muhyi Pamijahan tidak hanya menjadi tokoh penting dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, tetapi juga teladan dalam menyebarkan ajaran agama melalui pendekatan yang damai dan edukatif.
Warisannya terus hidup melalui pesantren-pesantren yang ia dirikan dan pengaruhnya yang masih terasa hingga saat ini.
Sumber: Laman UIN SGD Bandung
(Aak)