BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Tidak cuma bicara urusan agama, ternyata naskah kuno Sunda, Sang Hyang Siksa Kandang Karesian juga bicara soal tata kelola pemerintahan.
Mengutip Perpustakaan Digital Indonesia, naskah tersebut berasal dari tahun 1440 Saka, atau setara dengan 1518 Masehi, dan menggunakan bahasa Sunda Kuno yang ditorehkan pada lembaran daun nipah.
Para ahli mengategorikannya sebagai sebuah karya ensiklopedis, dan saat ini disimpan dengan kode identifikasi Kropak 630 di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Secara struktur, naskah terbagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama, bernama Dasakreta, berperan sebagai “kundangeun urang rea” atau pedoman akhlak universal untuk seluruh masyarakat.
Bagian kedua, bernama Darma Pitutur, memuat berbagai ilmu pengetahuan (dalam bahasa Sunda disebut pangaweruh) yang wajib dikuasai setiap individu agar dapat menjalani kehidupan yang bermakna.
Meskipun judulnya merujuk pada “karesian” atau yang bersifat keagamaan, cakupan isinya jauh lebih luas daripada sekadar urusan agama.
Naskah ini banyak membahas tata kehidupan yang berdasarkan ajaran darma. Seluruh konten yang terkait dengan ilmu pengetahuan termuat dalam bagian Darma Pitutur, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya:
“Kitu keh urang janma ini lamun dek nyaho dipuhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur…., kalinganya, kita jarang dek ceta, ulah salah geusan nanya.” yang kurang lebih menekankan pentingnya mengingat dan merujuk pada ajaran Darma Pitutur sebagai sumber pengetahuan yang benar.
Analisa Filolog
Sebagai seorang filolog, Anggi Endrawan menyoroti nilai abadi yang terkandung dalam naskah kuno Sunda, Sang Hyang Siksa Kandang Karesian.
Menurutnya, naskah tersebut bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah pedoman hidup yang mencakup nilai-nilai kemanusiaan dan tata kelola pemerintahan pada masa kerajaan di Tatar Sunda yang masih relevan hingga saat ini.
“Tidak ada satu pun nilai-nilai kemanusiaan dalam naskah ini yang bertentangan dengan aturan modern. Justru bisa memperkuat identitas dan karakter bangsa,” ujar Anggi dalam pernyataannya di Bandung, seperti dilansir Antara, dikutip Rabu (20/8/2025).
Anggi berharap pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi, dapat memberikan dukungan serius terhadap upaya pelestarian dan pengkajian naskah-naskah kuno Sunda.
Ia menekankan bahwa banyak naskah yang memiliki makna mendalam, salah satunya adalah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian yang sarat dengan nilai filosofis dan relevansi tinggi bagi kehidupan masa kini.
“Sanghyang berarti suci, siksa berarti ajaran, dan kandang karesian berarti aturan dengan batasan-batasannya. Naskah ini merupakan panduan hidup, termasuk dalam pengelolaan negara di zamannya,” jelas Anggi.
BACA JUGA
Pameran Naskah Kuno Peninggalan Bupati Galuh Digelar di Ciamis
Bahasa Sunda Layak Jadi Warisan Budaya Takbenda: Pakar Jelaskan Faktanya!
Naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian diketahui ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Garut, namun diduga memiliki keterkaitan erat dengan Kabupaten Sumedang, yang hingga kini masih menyimpan ratusan naskah kuno.
Sumedang baru satu kali pencarian saja sudah menemukan lebih dari 100 naskah, totalnya 190. Ini membuktikan bahwa Sumedang adalah pusat intelektual sejak zaman kerajaan.
“Mereka sudah menghasilkan buku jauh sebelum era modern,” tambahnya.
Anggi menegaskan bahwa warisan intelektual ini menunjukkan bahwa leluhur masyarakat Sunda telah mewariskan sistem kehidupan yang matang dan bernilai tinggi.
“Ini membuktikan bahwa masyarakat Jawa Barat memiliki akar pengetahuan dan tatanan yang kuat. Sayangnya, masih banyak potensi ini yang belum digali,” ucapnya.
Terkait naskah tersebut, dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Provinsi Jawa Barat, dilakukan prosesi pembacaan naskah Sang Hyang Siksa Kandang Karesian.
(Aak)