BANDUNG, TM.ID: Momentum hari Tasyrik jatuh setelah tiga hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) tepatnya, yakni 11, 12, dan 13 Dzulhijjah.
Dalam agama Islam, ketiga hari ini adalah wakt istimewa. Sebab pada hari tersebut umat Muslim masih dipersilahkan untuk menyembelih hewan kurban. Lantas bagaimanA dengan awal mula hari Tasyrik dan penamaannya.
Hari Tasyrik menjurus ke Idul Adha. Pada hari tersebut, umat Muslim dilarang menunaikan puasa sunnah. Larang tersebut sama seperti hari Idul Adha.
Tasyrik atau Tasyriq dalam bahasa Arab memiliki arti patron kata masdar dari “syarraqa” yang memiliki arti “matahari terbit atau menjemur sesuatu”. Tasyrik juga diartikan dengan penghadapan ke arah timur (arah sinar matahari).
Menurut Syekh Ibnu Manzur (711H) dalam magnum opusnya Lisan al-Arab menyebutkan ada dua perbedaan pendapat pada penamaan Tasyrik. Adapun pendapat itu sebagai berikut;
Melansir laman resmi MUI, pertama, dinamakan tasyrik dikarenakan waktu tersebut adalah hari di mana umat Islam menjemur daging qurban mereka untuk dibuat dendeng.
Pendapat tersebut disandarkan pada masa Rasulullah SAW belum adanya teknologi pendingin seperti kulkas. Alhasil, masyarakat kala itu menyimpan daging dengan waktu lama dengan cara dijemur.
Hak ini bertujuan, agar daging kurban yang marak ketika Idul Adha dapat disimpan jangka panjang, dan menjadi cadangan makanan.
Kedua, pelaksanaan penyembelihan hewan kurban setelah matahari terbit. Seperti penjelasan di atas, pada hari istimewa itu setiap muslim diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah apapun kecuali berpuasa. Mengapa terdapat larangan puasa pada waktu tersebut?
Larangan Puasa di Hari Tasyrik
Larangan puasa di hari tersebut, disebabkan waktu tersebut menjadi kesempatan untuk menikmati hidangan setelah Idul Qurban. Rasullah SAW pernah mengabarkat terkait larangan puasa dalam hadist ini,
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَا لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ
“Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, keduanya berkata: “Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan qurban ketika menunaikan haji.” (HR. Bukhari, no. 1859).
Pada kesempatan lain hari momentum ini juga disebut juga dengan hari untuk makan dan minum. Rasulullah bersabda:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Tasyrik adalah hari raya kita pemeluk agama Islam, serta merupakan hari-hari untuk makan dan minum.” (HR. An-Nasa’i, no. 2954).
Selain menikmati sajian masakan daging kurban, umat Islam tanpa melupakan memperbanyak amal ibadah seperti dzikir, doa, serta menyembelih hewan kurban (bila mampu). Perintah untuk berkurban merujuk ke dalam surat al-Kautsar.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
“Maka, laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurban lah!”
Demikianlah awal mula hari Tasyrik dan satu hal larangan yang tidak boleh dilakukan dalam momentum ini.
BACA JUGA: Usai Wukuf dan Mabit di Muzdalifah, Jemaah Haji akan Lempar Jumrah
(Saepul/Dist)