JAKARTA, TM.ID: Naik turunnya harga saham Subholding Gas Pertamina (Persero) yakni PT PGN Tbk atau PGAS dalam beberapa waktu ini, menunjukkan adanya kebingungan para investor di lantai bursa atas kinerja PGAS ke depan adalah sulit dibantah.
“Terbatasnya informasi yang disampaikan oleh PGN ke publik maupun investor mengakibatkan sulitnya para analis bursa untuk memahami berapa besar potensi kerugian akibat dari trading LNG dengan Gunvor Pte Ltd Singapore tersebut,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, dikutip Senin (25/12/2023).
Menurut Yusri, jika ada komentar pengamat dan analis bursa pada media mengatakan optimis bahwa PGN bisa mengatasinya resiko dan jika mengalami kerugian itu bagian dari resiko bisnis adalah pendapat sesat.
“Sebab menurut LHP BPK RI aksi menanda tangani MSPA dan CN saat itu bukan keputusan Direksi dan tidak melibatkan fungsi manajemen resiko PGN,” kata Yusri.
BACA JUGA: Sosok Dirut Pertamina Nicke Widyawati yang Masuk Daftar Most Powerful Women Forbes 2023
Sehingga, lanjut Yusri, pengangkatan Direksi PGN saat itu dan saat ini oleh Menteri BUMN disinyalir adanya cawe cawe atau peran tokoh James, jika benar harus diusut tuntas oleh penegak hukum.
“Tentunya kondisi ini sangat rawan bagi para pemegang saham minoritas akibat munculnya potensi ‘goreng menggoreng’ saham yang berakibat tumbangnya para investor kecil,” ungkap Yusri.
Dijelaskan Yusri, investor kecil ini umumnya terdiri dari ibu-ibu rumah tangga, para pekerja muda dan sampai ke kalangan pensiunan yang mencari tambahan untuk sekedar menanggulangi kebutuhan hidup yang makin hari makin sulit.
“Otoritas bursa saham semestinya bisa segera bertindak untuk mengamankan situasi agar animo masyarakat untuk berinvestasi di bursa tidak jeblok,” kata Yusri.
Dari beberapa sumber, kata Yusri, sebenarnya dapat dikumpulkan data perkiraan yang bisa digunakan untuk menghitung potensi kerugian trading LNG PGN dengan Gunvor tersebut.
“Dari data-data maupun ‘informasi terbatas’ yang beredar dapat diketahui bahwa jumlah kargo yang diperjualkan adalah sebanyak 8 kargo setahun selama periode 4 tahun mulai Januari 2024. Artinya total kargo yang dijual ke Gunvor adalah 32 kargo,” kata Yusri.
“Informasi lain juga terdengar bahwa harga jual LNG ke Gunvor adalah sekitar $ 11,5/MMBTU dan denda maksimal yang bisa ditanggung PGN adalah sebesar 130 persen dari nilai kontrak,” timpal Yusri lagi.
Diuraikan Yusri lebih lanjut, sumber lain juga menyebutkan bahwa kuantitas satu kargo LNG tersebut adalah 3 – 3,7 juta MMBTU. Dari data di atas maka dapat dihitung bahwa perkiraan harga minimum 1 kargo LNG yang dikirim ke Gunvor adalah $ 34.500.000, sedangkan untuk harga maksimumnya adalah $ 42.550.000.
“Dari dua nilai minimum dan maksimum di atas, dapat dihitung bahwa potensi total kerugian selama periode kontrak yang akan dihadapi PGAS adalah antara sekitar $ 1,435 miliar sampai dengan $ 1,768 miliar atau setara Rp 22,4 triliun,” ulas Yusri.
Menurut LHP BPK RI April 2023, lanjut Yusri, potensi kerugian selama 4 tahun periode kontrak sekitar USD 117.972.000 hingga USD 376.992.000,00 berdasarkan klaim atau denda Gunvor 33% dari nilai kargo.
“Potensi kerugian inilah yang sampai saat ini terkesan masih coba ditahan oleh manajemen PGN untuk di sampaikan ke publik dengan berlindung pada klausul ‘Non Disclosure Agreement’, ketika PGN mengadakan ‘online hearing’ dengan PT BEI pada 13 Desember 2023.
Padahal, kata Yusri, dengan berbekal stempel ‘ahlinya ahli’ mereka semestinya sudah paham bahwa tidak mungkin lagi untuk bisa mendapatkan kontrak pasok LNG untuk pengiriman di bulan Januari, Februari atau bahkan untuk sepanjang periode 2024.
“Dampaknya, total nilai kerugian tersebut semestinya diprovisikan pada laporan keuangan PT PGN pada tahun 2023 ini. Potensi kerugian yang hampir setara dengan ‘market capitalisation’ PGAS saat ini pastinya akan sangat mempengaruhi keputusan investasi para pemegang sahamnya,” kata Yusri.
Menurut Yusri, penundaan penyampaian ‘Keterbukaan Informasi’, pada saatnya akan membukukan kerugian yang sangat besar pada investasi portofolio pemegang saham PGAS. Bahkan lebih jauh bisa menarik turun kinerja IHSG IDX secara keseluruhan.
“Padahal, umum diketahui bahwa banyak dana pensiun yang berinvestasi di bursa termasuk di PGAS. Tidak terbukanya manajemen PGAS dalam hal penyampaian informasi ini menujukkan tidak adanya kepedulian atas potensi kerugian yang akan dihadapi para pemegang saham atau akibat ketidak mampuan mereka mengendalikan situasi,” kata Yusri.
Padahal, kata Yusri, total kerugian yang mungkin menjadi tanggungan investor PGAS total nilainya bisa setara dengan total kerugian yang ditanggung PGN dari gagal trading LNG dengan Gunvor.
BACA JUGA: Pertamina Siap Jadi Pemain Utama Penyimpanan Karbon di Indonesia
“Untuk mencegah realisasi kerugian dari pemegang saham PGAS, OJK perlu segera melakukan investigasi menyeluruh atas transaksi LNG PGN tersebut dan segera mempublikasikan temuannya ke bursa. Upaya yang dilakukan manajemen PGN dalam mengelola risiko trading LNG ini tampaknya sumir,” kata Yusri.
Yusri mengatakan, pengajuan klausul ‘force majeur’ sebagai alasan gagal kirim mengindikasikan gagal pahamnya manajemen PGAS membaca kontrak, karena di kontrak dengan Gunvor tidak mengindikasikan asal pasokan LNG dan lagi pula PGN sesungguhnya tidak mempunyai kontrak pasok LNG, setelah Dirut Pertamina menerbitkan surat nomor 182/G00000/2022-SO pada 27 Juli 2022 yaitu menunda pengalihan bisnis LNG dari Pertamina Holding ke PGN, meskipun sudah memiliki HoA sebelumnya.
“Posisi Direksi PGN semakin terjepit setelah KPK pada 7 Desember 2022 menerbitkan surat ke Direksi PT Pertamina Holding untuk tidak mengalihkan 6 kargo LNG yang berasal dari Woodside Ltd Australia ke PGN. Jadi darimana bisa muncul ‘force majeur’ nya. Atau memang strategi ini diajukan guna mendapatkan “sampingan” dari upaya ‘legal battle’ yang akan dilakukan PGN di arbitrase,” ungkap Yusri.
Sebab lebih jauh, kata Yusri, beberapa waktu lalu, Tim Mission Impossible PGN telah berangkat melakukan penetrasi pasar untuk ‘LNG Search & Secure’ di beberapa negara, kami memperoleh kabar hasilnya nihil.
“Jadi PGN tinggal menghitung hari atas potensi kegagalan mensuplai LNG ke Gunvor pada awal Januari 2024 akan berujung gugatan Gunvor masuk ke arbitrase, tetapi yang pasti potensi PGN masuk daftar hitam di pasar LNG global semakin sulit dihindari,” kata Yusri.
Selain itu, timpal Yusri, kasus kontrak LNG dengan Gunvor berpotensi menyusul ke KPK untuk melengkapi laporan BPK RI pada April 2023 terkait dugaan korupsi kasus FSRU Lampung, terminal LNG Lamongan, akuisisi saham anak usaha Isar Gas dan akuisisi tiga wilayah kerja oleh PT Saka Energi.
Laporan wartawan Jakarta : Agus Irawan