JAKARTA, TM.ID: Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato kenegaraan terakhirnya dalam sidang tahunan MPR, Rabu (16/8) kemarin. Pada bulan Februari 2024 mendatang, akan dilakukan pemilihan umum.
Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan terakhirnya itu, menyampaikan sejumlah hal. Termasuk dirinya juga menyinggung soal sosok ‘pak lurah’, sampai keluh kesahnya yang sellau dihina dan dibilang bodoh.
Terkait dengan sebutan Pak Lurah, Presiden Jokowi menyampaikan hal itu dalam menyinggung hal soal calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2024. Dirinya heran siapa sebenarnya sosok ‘pak lurah’ tersebut.
“Setiap capres-cawapresnya, jawabannya ‘Belum ada arahan Pak Lurah.’ Saya sempat mikir siapa ini Pak Lurah? Sedikit-sedikit Pak Lurah. Belakangan saya tahu, yang dimaksud Pak Lurah itu saya,” ungkap Jokowi di Sidang Tahunan MPR, Kompleks Parlemen, Jakarta.
BACA JUGA: Jokowi: Pemerintah Telah Miliki Strategi Meraih Indonesia Emas 2045
Secara tegas Jokowi mengatakan, dirinya tak memiliki peran apapun dalam pilpres nanti. Dirinya tak ingin ikut campur dengan itu, karena semua menjadi urusan partai politik.
“Saya bukan Pak Lurah, saya Presiden Republik Indonesia,” kata Presiden Jokowi.
Bahkan secara tegas juga disampaikan jika Jokowi bukanlah ketua umum parpol.
“Ternyata Pak Lurah itu, kode. Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan juga Ketua koalisi partai, dan sesuai ketentuan Undang-Undang yang menentukan Capres dan Cawapres itu Parpol dan koalisi parpol,” begitu katanya.
Presiden Jokowi turut menyinggung adanya beberapa pihak, yang selalu menghina dan melabeli dirinya dengan macam- macam sebutan. Kendati demikian, dirinya menerima semua itu.
BACA JUGA: Jelang Perayaan 17 Agustus, Presdir PT Tekindo Energi Sambangi Pj Bupati Halteng
“Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tau apa-apa, fir’aun, tolol. Ya ndak apa-apa, sebagai pribadi saya menerima saja,” ungkap Jokowi.
Tapi sebagai seorang manusia, Jokowi mengaku sangat sedih karena budaya saling menghormati di Indonesia seoalh perlahan memudar.
“Tapi yang membuat saya sedih, budaya santun dan budi pekerti luhur bangsa ini kok kelihatanya mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah,” jelasnya.