LOMBOK, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah gempuran game online dan gadget yang bikin anak-anak betah duduk seharian, ternyata masih ada yang berlari di halaman memainkan permainan tradisional. Namun jangan salah, permainan seperti engklek, galah asin, bentengan, sampai palentong dari Nusa Tenggara Barat (NTB) bukan cuma hiburan zaman dulu yang bikin badan sehat.
Lebih dari itu, permainan tradisional masyarakat NTB adalah simbol kearifan lokal, cara bermain yang menyimpan nilai budaya, bahkan cerminan jati diri bangsa.
Menurut Fad (2014), permainan tradisional di Indonesia jumlahnya ratusan dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Tiap daerah punya ciri khas sendiri, baik dari segi aturan, alat, hingga makna sosialnya. Dari Surakarta ada “Surakarta”, dari NTB ada “Palentong”, dan dari Betawi ada “Ular Naga”. Namun satu benang merahnya sama: semua dimainkan secara kolektif, mengajarkan kerjasama, sportivitas, dan nilai gotong royong sejak dini.
Tidak berlebihan kalau kemudian permainan ini dianggap sebagai alat pendidikan yang sangat membantu. Kajian oleh Marzoan & Hamidi (2017) menyebutkan bahwa ketika permainan tradisional dijadikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, hasilnya bukan cuma anak jadi lebih aktif, tapi juga lebih peka sosial. Mereka belajar berbicara, menunggu giliran, menyelesaikan konflik secara damai—hal yang jarang diajarkan lewat pelajaran formal.
Hal ini juga diamini oleh Wakil Mentri Kebudayaan @giring yang ikut serta mempopulerkan permainan tradisional di ajang Fornas VII NTB. Dalam unggahan Instagram-nya (@giringdibudaya), ia menekankan bahwa permainan tradisional adalah langkah kecil dengan makna besar. Bukan sekadar nostalgia masa kecil, melainkan cara menjaga akar budaya lewat aktivitas yang menyenangkan.
“Permainan tradisional adalah lebih dari sekadar warisan, ia adalah investasi untuk masa depan peradaban,” tulisnya.
Dan benar saja, ketika anak-anak bermain congklak, mereka sedang belajar menghitung. Saat mereka main bentengan, mereka sedang memahami strategi dan kerja tim. Saat mereka main egrang atau bakiak, keseimbangan dan ketekunan jadi pelajaran tak tertulis. Permainan-permainan ini adalah “bahasa universal” yang menyatukan anak-anak dari berbagai daerah, tanpa perlu mengenal bahasa satu sama lain.
BACA JUGA
Kemenbud Buka Sayembara Logo Chandi Summit 2025
Apple Posting Ratoh Jaroe, Tarian Seribu Tangan Tradisi Aceh
Melihat potensi besar ini, kini mulai banyak gerakan kolaboratif lintas sektor. Pemerintah, komunitas, hingga tokoh budaya mulai bersinergi menjaga agar permainan tradisional tak sekadar hidup dalam lomba 17-an. @kemenkebud, @kemenpora, @ekraf.ri hingga @korminasional membuka peluang kolaborasi untuk membumikan permainan ini ke sekolah, ruang publik, hingga festival budaya nasional.
Karena di balik tawa anak-anak yang berlarian, tersimpan napas panjang budaya yang tak boleh putus. Dan seperti kata akun @giringdibudaya, “Langkah kecil bermakna besar.” Maka jangan heran kalau sebilah congklak dan seutas tali bisa menjadi penyelamat jati diri bangsa.
Sumber: Fad, A. (2014). Kumpulan permainan anak tradisional Indonesia. Cif.; Marzoan, M., & Hamidi, H. (2017). Permainan tradisional sebagai kegiatan ekstrakurikuler untuk meningkatkan kompetensi sosial siswa. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 2(1), 62-82.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)