JAKARTA.TM.ID : Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa dirinya bukanlah menteri keuangan yang doyan dengan utang, sebagaimana yang selama ini disematkan masyarakat terhadapnya. Bahkan dirinya membeberkan bukti-bukti terkait hal itu.
Sri Mulyani mengatakan salah satunya adalah kemampuan dia menjaga defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), yang tidak terus menerus tinggi di atas tiga persen dari produk domestik bruto (PDB) setelah masa Pandemi Covid-19. Serta tingkat utang yang tidak lebih dari 60 persen PDB, sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara.
Sri Mulyani menyebutkan, kebijakan tersebut sebenarnya mendapat tanda tanya dari berbagai agensi pemeringkat utang global. karena hanya membolehkan desifit APBN di atas tiga persen selama tiga tahun dari 2020 hingga 2023, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Dia menjelaskan bahwa pada saat itu masih dalam Pandemi Covid-19 ketika ekonomi negara berhenti dan kebutuhan pembiayaan besar, untuk mengakomodir belanja negara dan menjaga daya beli masyarakat melalui berbagai instrumen jaring pengaman sosial.
“Banyak rating agency yang menanyakan ke saya, ‘Sri Mulyani how do you know that the pandemi is going to over with in 3 years, saya mengatakan do you know? no don’t well the with me , i also don’t know,’” ucap Sri Mulyani di Universitas Diponegoro dan Universitas Sebelas Maret, Jawa Tengah, Senin (23/10/2023).
BACA JUGA: Sri Mulyani Beberkan Aturan Penindakan Barang Tindakan Teroris dan Kejahatan Lintas Negara
“So why you desain the budget is only allowing to deficit above 3 percent of GDP only for 3 year?” kata Sri Mulyani.
Dia memberikan penjelasan mengapa memberikan jangka waktu defisit APBN harus kembali di bawah 3 persen dalam tiga tahun setelah munculnya Pandemi Covid-19 dan pada saat berbagai negara defisit APBN nya masih terus tinggi diiringi dengan tingkat utang yang tinggi.
Menurut dia, salah satunya adalah karena kekhwatirannya terhadap risiko negatif defisit berjangka panjang yang dapat membuat negara terlena untuk terus berutang dan pada ahirnya kesulitan untuk memulihkan defisit APBN nya karena beban bunga utangnya yang juga berpotensi terus tinggi menekan ruang fiskal.
“Saya mengatakan pengalaman banyak negara, many coutries experience once kamu buka deficit-nya, allowing tidak ada batasnya, itu terjadi addict, enak defisit tersebut, walaupun kalian suka maki- maki, enggak suka utang, tapi negara itu senang sekali, karena itu the easiest way,” terang Sri Mulyani.
Menurutnya kondisi tersebut sudah membuat banyak negara Amerika Latin pulih dari beban utang sejak periode 1980-1990, sampai kini menghadapi kondisi krisis utang. Permasalah krisis utang pun kini merambah ke negara Afrika hingga 60 negara berpendapatan menengah lainnya.
“Dan banyak middle income sekarang 60 negara dalam kondisi vulnerable utangnya. Saya mengatakan, we are going tor just giving three years to give the sense of this discipline, we have to return back kepada apa yang disebut disiplin fiskal,” bebernya.
BACA JUGA: Utang Indonesia Diklaim Sama Bank Indonesia Katanya Turun Jadi 1 Miliar Dolas AS
Lebih lanjut dia mengungkapkan, patokan defisit yang tidak lebih dari 3 dan rasio utang maksimal 60 persen dari PDB ini, diadopsi dari Maastricht Agreement di Uni Eropa yang terbukti mampu menjaga ekonomi negara -negara anggotanya tidak tertekan krisis utang dengan ukuran-ukuran tersebut.
“Mereka sudah lebih dari 60 persen, mereka defisitnya di atas 3 persen jadi negara -negara itu yang tadinya disiplin sekarang sudah tidak. Jadinya ekonomi dan keuangan negaranya saat dalam situasi yang tidak baik,” kata dia.
Diketahui sebelumnya pada 2022 tatkala deifist APBN menyentuh level 6,1 persen, tingkat arsio utang Indonesia terhadap PDB sudah sempat tembus ke level 41 persen. Tetapi saa ini dengan defisit APBN per 31 Agustus 2023 di level PDB, rasio utang terhadap PDB menjadi tersisa 37,84 atau senilai Rp7.870,35 triliun.
Laporan wartawan Jakarta : Agus Irawan