TEMANGGUNG,TM.ID : Menyamakan tembakau dengan narkotika dalam satu definisi kelompok zat adiktif itu terlalu berlebihan.
Hal tersebut ditegaskan Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Vita Ervina dalam siaran pers di Temanggung, Jumat (12/5/2023).
Menurut Vita, tembakau merupakan tanaman yang legal. Produksinya, peredaran dan penggunaannya pun legal.
Ia menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan yang tengah digodok oleh DPR dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan mengatur perihal tembakau telah menimbulkan polemik di masyarakat.
“Yang paling menonjol adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau,” katanya.
Mengingat, dalam draf usulan RUU Kesehatan tersebut, khususnya Pasal 154 Ayat 3 tertulis “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e) hasil pengolahan zat adiktif lainnya”.
Pasal tersebut secara tegas menyamakan hasil olahan tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok, daun tembakau iris, tembakau padat dan cair dengan zat adiktif yang terdapat dalam narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol.
Ia menuturkan nikotin yang terkandung dalam tembakau merupakan zat adiktif yang sah, begitu pula kafein pada kopi, teh dan minuman energi.
Zat adiktif pada rokok tidak sebanding dengan zat adiktif yang terdapat pada narkotika seperti morfin, heroin, kokain dan ganja.
Menurut dia pasal kontroversial lainnya adalah Pasal 154 Ayat 5 yang berbunyi “Produksi, peredaran dan penggunaan zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 huruf (d) dan huruf (e) harus memenuhi standar dan atau persyaratan kesehatan”.
“Mengapa hanya hasil tembakau dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya yang harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sedangkan untuk narkotika, psikotropika dan minuman beralkohol tidak disebutkan,” katanya.
BACA JUGA: Bos Mayapada Hospital Diperika KPK Terkait Aliran Dana Rafael Alun
Menurut dia pasal tersebut jelas diskriminatif dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem industri hasil tembakau (IHT).
Ia menuturkan jika pasal itu diloloskan, maka sama saja memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja. Mereka bahkan juga disebut sebagai penyebab penyakit hingga kematian yang menghabiskan paling banyak dana kesehatan.
“Jadi batalkan saja pasal tembakau yang samakan narkotika dan miras dalam RUU Kesehatan” katanya.
Petani tembakau adalah salah satu penyumbang devisa. Tembakau memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian nasional. Penerimaan APBN dari cukai rokok pada tahun 2023 mencapai 218 triliun rupiah. Tetapi nasib kesejahteraan petani dan buruh tembakau masih memprihatinkan.
Sebagai anggota DPR RI dari Dapil Jateng VI yang berada di daerah sentra penghasil tanaman tembakau yaitu Temanggung, Wonosobo, dan Magelang, dia berharap RUU Kesehatan yang disusun tidak menimbulkan kerugian bagi ekosistem industri hasil tembakau dan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kesehatan dan aspek kesejahteraan ekonomi masyarakat.
(Budis)