BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Selama bertahun-tahun, pencarian di internet identik dengan satu hal: daftar link biru dari Google. Tapi peta itu bisa berubah drastis dalam waktu dekat.
OpenAI, perusahaan di balik ChatGPT, sedang mengembangkan mesin pencari yang bukan hanya menawarkan informasi tapi langsung menjawab, dan itu bisa mengubah cara kita menjelajah web untuk selamanya.
Sistem ini bukan sekadar kompetitor baru bagi Google, melainkan sebuah paradigma baru. Tidak lagi menyodorkan ratusan hasil yang harus diklik satu per satu, melainkan memberikan jawaban sintetis dari berbagai sumber, yang disesuaikan dengan konteks, kebutuhan, bahkan latar belakang pengguna.
“Sistem kami akan menanyakan apakah Anda alergi obat, berapa usia Anda, lalu memberikan saran medis berbasis preferensi itu,” ujar seorang engineer OpenAI yang terlibat dalam proyek ini.
Selama dua dekade terakhir, pengalaman mencari informasi di internet hampir tidak berubah: pengguna mengetik kata kunci, lalu mengeklik beberapa link sampai menemukan jawaban yang mereka cari.
Dengan pendekatan baru ini, OpenAI mendorong kita untuk berinteraksi, bukan sekadar mengetik. Sistemnya tidak pasif, ia akan bertanya balik, mengklarifikasi, menyaring, dan kemudian menyampaikan jawaban yang lebih mendalam dan personal.
Itu berarti pengguna tidak lagi menjelajah, tetapi lebih banyak menerima dan mempercayai hasil akhir yang sudah diproses AI.
“Ini seperti pergi ke perpustakaan, tapi hanya mendapatkan satu ringkasan dari pustakawan — dan tak tahu buku mana yang dibacanya,” kata Marcus Tan, konsultan UX.
Google menyadari perubahan ini. Project Gemini, sistem AI pencarian terintegrasi tengah dikebut, menyatukan pendekatan klasik (link) dengan jawaban AI dalam satu tampilan.
Bahkan Bard, asisten AI Google, akan mendapat kemampuan pencarian real-time, untuk tetap bersaing dalam era “jawaban instan”.
Baca Juga:
Google Luncurkan Veo 3 dan Imagen 4 di Google I/O 2025, Revolusi AI Pembuatan Visual Sinematik
Ini mengisyaratkan bahwa Google sendiri mulai meninggalkan model lama demi pendekatan yang lebih interaktif.
Ketika jawaban datang dari satu suara sintetis, muncul pertanyaan baru, apakah kita masih punya akses ke keragaman perspektif?
Sistem seperti ini rentan membentuk “kamar gema digital”, memperkuat bias, dan mengarahkan opini tanpa disadari.
“Di masa depan, kekuatan pencarian bukan lagi soal kecepatan menemukan fakta — tapi siapa yang paling bisa memengaruhi cara informasi disampaikan,” kata pakar etika dari Stanford,
Sebuah survei Pew Research menyebut 78% pengguna internet masih nyaman dengan Google. Tapi sejarah menunjukkan, teknologi yang benar-benar unggul bisa mengubah kebiasaan dengan cepat.
Yahoo dulu pernah mendominasi, sebelum digeser oleh Google hanya dalam waktu beberapa tahun.
Jika OpenAI berhasil meluncurkan produk ini secara luas, maka yang sedang terjadi bukan sekadar persaingan teknologi, melainkan pergeseran budaya digital: dari berburu informasi, menjadi menerima interpretasi.
(Budis)