BEKASI, SUARA MAHASISWA AWARDS — Di tengah derasnya arus transformasi digital, menjaga budaya literasi menjadi sebuah tantangan sekaligus keharusan bersama. Kehidupan yang serba cepat dan berbasis teknologi membuat waktu menjadi sesuatu yang langka. Aktivitas membaca—yang dahulu menjadi kebiasaan—kini kian tersingkir serta tergantikan oleh konsumsi konten instan dan hiburan digital yang melimpah. Namun, di tengah kesibukan itu, potret seorang perempuan muda ini yang sedang khusyuk membaca buku Suwung karya Setyo Hajar Dewantoro menjadi penanda bahwa semangat literasi masih menyala, meski dalam ruang yang sempit.
Budaya literasi sejatinya tidak hanya mencakup kemampuan untuk membaca. Ia adalah proses membangun kesadaran, memperluas pemahaman, dan melatih daya kritis terhadap realitas. Ketika seseorang memilih membaca di sela-sela aktivitas padat, sesungguhnya ia sedang mempertahankan tradisi berpikir mendalam—melawan arus cepatnya informasi yang seringkali dangkal dan tidak terverifikasi. Dalam konteks inilah, literasi menjadi sebuah budaya yang harus dipelihara, bukan sekadar keterampilan sesaat.
Transformasi digital memang membawa kemudahan, tetapi juga kompleksitas baru. Kita hidup dalam era di mana informasi beredar dalam hitungan detik, namun tak selalu disertai kejelasan dan kebenaran. Di sinilah budaya literasi digital, media, dan informasi memainkan peran penting—agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga mampu menelaah, mengkritisi, dan memilih informasi yang valid. Literasi di era ini adalah bekal dasar dalam menghadapi arus disinformasi yang makin masif.
Menjadikan membaca sebagai kebiasaan tidak lagi bisa ditunda atau hanya dianggap sebagai aktivitas sampingan. Justru di era serba digital ini, membaca adalah bentuk perlawanan terhadap ketergesaan berpikir dan konsumsi informasi serba instan. Budaya literasi perlu dibangun di setiap lini kehidupan—di rumah, sekolah, komunitas, dan ruang digital—agar menjadi fondasi karakter generasi yang tidak hanya cakap teknologi, tapi juga bijak dan bernalar.
Potret seseorang yang membaca di tengah kesibukan sehari-hari merupakan representasi dari upaya mempertahankan budaya literasi. Di setiap halaman yang dibacanya, tersimpan semangat untuk terus belajar, harapan untuk memahami dunia dengan lebih utuh, dan keteguhan untuk tidak hanyut dalam kebisingan zaman. Budaya literasi di era transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendasar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya upaya menjaga dan menumbuhkan literasi didukung secara luas—agar generasi mendatang tumbuh menjadi insan yang cerdas, kritis, dan berdaya dalam menghadapi tantangan zaman.
(Fajar Novryanto, Universitas Persada Indonesia Y.A.I)