BANDUNG,TM.ID: Beda dengan pemilu yang ada di daerah lain, Papua menerapkan sistem noken saat pemilihan. Sistem noken ini merupakan sistem khusus untuk pemilihan masyarakat Papua yang berasal dari pegunungan. Sistem ini memang pertam kali dilaksanakan pada tahun 2004 di 16 kabupaten Provinsi Papua.
Sistem noken tersebut menggunakan prinsip pemilihan dengan model election in the field yang artinya langsung, umum, bebas, terbuka, jujur, dan adil. Tidak hanya itu, sistem tersebut juga berkaitan dengan pemimpin tradisional yang mempercayakan keputusan ada di pemimpin suku.
Sistem Noken Pemilu Papua
Sistem noken dalam Pemilu di Papua telah terbit dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU.AVII/2019. Hal tersebut sebagai yurisprudensi dalam penggunaan Sistem Noken atau Ikat yang digunakan oleh masyarakat yang ada di Provinsi Papua.
BACA JUGA: Plh Wali Kota Bandung Singgung Soal Etika Politik Pemilu 2024
Dalam pelaksanaanya, ada dua cara pelaksanaan noken, yaitu sitem noken sistem ikat. Sistem tersebut merujuk dari kesepakatan masyarakat setempat yang dilakukan di TPS, dengan surat suara yang diisi di noken.
Sementara sistem ikat merupakan hasil kesepakatan dengan warga masyarakat yang diwakili kepala suku untuk mengisi surat suara dalam noken atau tempat suara. Sebelumnya, kebijakan tersebut ditetapkan dalam aturan KPU Papua Papua Nomor 1 tahun 2013.
Serta putusan MK nomor 01/Kpts/KPU Prov.03/2013 yang memperbolehkan penggunaan Noken pada pemungutan suara yang ada di daerah pedalaman Papua, melansir tempo. Penggunaan sitem noken ini hanya dapat dilakukan di wilayah yang masih menggunakan Sistem Noken/Ikat secara terus menerus sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat.
Sistem ini juga digunakan di daerah pegunungan Tengah Papua yang hidup tanpa akses informasi, alat komunikasi, transportasi, dan pendidikan yang rendah.
Penyebab Sistem Noken Dilaksanakan
1. Sumber Daya Manusia (SDM).
Sebagian masyarakat di wilayah pegunungan Papua belum tersentuh pendidikan. Terlebih, masyarakat di Papua belum memahami pemilu dengan pasti, baik maksud, tujuan serta manfaat pemilu. Oleh karenanya masyarakat perlu diarahkan melalui sebuah proses musyawarah bersama mengambil keputusan dalam memilih.
2. Geografis
Topografi daerah yang mayoritas bergunung terjal dengan jurang tajam membuat terbatasnya akses transportasi, sehingga berdampak pada inskonsitensi agenda pemilu nasional, terutama bagi penyelenggara saat itu. Bahkan tingkat kesulitan medan di daerah pedalaman Papua dinilai sangat rumit untuk mendistribusikan logistik pemilu secara cepat.
3. Sosial Budaya.
Secara sosial budaya, masyarakat di pedalaman Papua menganut sistem politik tradisional yang dikenal dengan bigman atau tetua adat. Setiap keputusan dalam komunitas dilaksanakan dengan bermusyawarah dan setiap ide tersebut dikumpulkan menjadi keputusan mutlak dan dinyatakan secara resmi oleh tetua adat mereka.
(Kaje/Aak)