BANDUNG. TEROPONGMEDIA.ID — Chongqing merupakan kota di China dengan populasi lebih dari 30 juta jiwa, untuk perbandingan, itu setara hampir seluruh penduduk Malaysia, dan lebih banyak dari negara-negara seperti Australia, Taiwan, bahkan Kanada.
Tapi anehnya, nama Chongqing tidak sepopuler kota-kota China lainnya di mata dunia.
Bukan cuma jumlah penduduknya yang bikin geleng-geleng, luas wilayah Chongqing juga ternyata lebih besar dari beberapa negara kecil seperti Lebanon, Slovenia, bahkan hampir seukuran Austria.
Bedanya, Chongqing itu statusnya bukan cuma kota biasa, tapi municipality langsung di bawah pemerintah pusat (kayak Beijing dan Shanghai), jadi punya otonomi dan pengaruh yang besar banget.
Kenapa Kota Sebesar dan Sepenting ini Jarang Terdengar?
Chongqing berada di tengah-barat China, jauh dari pesisir, makanya dulu jarang dilirik secara ekonomi internasional.
Tapi sekarang, kota ini justru jadi pusat logistik dan manufaktur barat China, lengkap dengan pelabuhan sungai terbesar di dunia yang terhubung ke proyek Belt and Road.
Warga dan pengunjung menjuluki Chongqing sebagai “kota vertikal” karena medannya berbukit, bangunannya bertingkat, jalannya menembus gedung, dan keretanya melintas di tengah apartemen.
Suasananya hidup 24 jam, penuh warna, dan sering bikin turis bingung arah.
Selain itu keunikan geografis dan kekuatan industrinya bikin Chongqing tampil menonjol secara budaya dan geopolitik, tidak seglamor Shanghai, tapi jelas nggak bisa diremehkan.
Sisi Gelap Kota Chongqing Di Balik Gemerlapnya “Kota Vertikal”
Meski Chongqing terkenal dengan kemajuan industri, teknologi, dan keunikannya sebagai kota “vertikal”, bukan berarti kota ini bebas dari sisi gelap. Ada beberapa realitas yang sering luput dari sorotan media, tapi tetap penting buat dibahas.
1. Polusi Udara dan Kabut Tebal
Karena jadi pusat industri berat dan transportasi, Chongqing sering diselimuti kabut asap dan polusi. Cuacanya lembap, berkabut, dan jarang cerah, bahkan warga lokal menyebutnya “kota tanpa matahari”. Udara yang kurang bersih ini bisa berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang.
2. Kesenjangan Sosial
Perkembangan pesat kota ini ternyata juga menciptakan jurang antara yang kaya dan miskin. Di tengah gedung pencakar langit dan mall mewah, masih banyak warga desa urban yang tinggal di rumah-rumah tua, hidup seadanya, dan belum benar-benar merasakan hasil pembangunan.
3. Kemacetan dan Kepadatan
Dengan populasi lebih dari 30 juta orang, nggak heran kalau Chongqing sering padat dan macet. Struktur kota yang bertingkat-tingkat dan jalanan yang naik-turun bikin transportasi bisa jadi mimpi buruk, apalagi buat pendatang baru.
4. Tekanan Hidup di Kota Besar
Seperti kota metropolitan lainnya di China, tekanan hidup di Chongqing cukup tinggi. Biaya hidup makin naik, persaingan kerja ketat, dan ritme hidup yang cepat bikin banyak anak muda stres atau burnout.
5. Jejak Masa Lalu yang Masih Membekas
Chongqing pernah jadi basis militer dan lokasi penting selama Perang Dunia II. Beberapa tempat masih menyimpan bunker, gua persembunyian, dan bangunan tua yang menyimpan kisah kelam masa lalu. Ini bikin suasana di beberapa sudut kota terasa agak “berat”.
BACA JUGA:
5 Cara Singapura Akan Mengejutkan Wisatawan dari Bandung
Daya Tarik dan Jam Operasional Wisata Chinatown Glodok, Kawasan Pecinan Terbesar
Chongqing Kota Pegunungan yang Bertransformasi Jadi Pusat Teknologi
Kota ini dulu dikenal sebagai kota industri berat dan basis militer, sekarang Chongqing berubah cepat jadi salah satu pusat teknologi dan inovasi paling dinamis di China.
Tidak heran jika pemerintah Tiongkok serius mendorong kota ini jadi counterweight untuk kota-kota teknologi besar seperti Shenzhen dan Shanghai.
Kota Industri yang Berbenah
Chongqing udah lama jadi rumah bagi industri otomotif dan manufaktur berat. Banyak brand besar punya pabrik di sini, kayak Ford, Mazda, Changan Auto, dan Lifan.
Bahkan, Chongqing juga sebagai salah satu penghasil mobil terbanyak di China, tapi, beberapa tahun belakangan, pemerintah lokal dan pusat mulai shifting arah dari kota pabrik jadi kota teknologi.
Investasi besar-besaran ini ke sektor AI, big data, Internet of Things (IoT), dan semikonduktor, mereka tidak hanya ingin menjadi pabriknya tapi juga ingin menjadi otaknnya.
(Magang UKRI Ajeng/Budis)