BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bakal menerapkan tes kepribadian Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) usai maraknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan sejumlah dokter.
Sebagai langkah preventif, Kemenkes bersama Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), organisasi profesi, dan institusi pendidikan kedokteran, bekerja sama dalam penguatan pendidikan etika medis.
“Kementerian Kesehatan akan menerapkan tes kepribadian Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI) dalam proses seleksi calon dokter,” kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono dalam keterangan resmi, Sabtu (19/4/2025).
Dante menjelaskan, tes MMPI ini dilakukan untuk melihat apakah calon dokter memiliki gangguan atau kelainan psikologis.
Kemenkes berhak menolak jika memang ditemukan gangguan psikologis, meskipun calon dokter tersebut memiliki nilai akademik yang bagus.
“Kalau hasilnya menunjukkan ada kelainan psikologis dan tidak cocok untuk profesi dokter, maka akan kami tolak, walaupun nilai akademiknya bagus,” ujar Dante.
Kemenkes mengaku prihatin dengan banyaknya pemberitaan oknum tenaga medis yang menyalahgunakan profesinya.
“Kejadian ini menjadi pengingat penting untuk terus memperkuat sistem pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga kesehatan,” kata Dante.
Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya menjadi diskursus dalam beberapa minggu terakhir. Mulai dari Priguna Anugerah Pratama (31) yang merupakan pelaku pemerkosaan terhadap keluarga pasien berinisial FH (21) di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Priguna merupakan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jurusan Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad). Kasus kedua adalah dokter kandungan dengan inisial MFS yang melecehkan pasiennya di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat.
Terakhir, terdapat oknum dokter berinisial AY diduga melecehkan pasien perempuan di Rumah Sakit (RS) Persada, Kota Malang, Jawa Timur.
Jangan Dinormalisasi
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan bahwa menggunungnya kasus kekerasan seksual pada 2025 merupakan pekerjaan rumah (PR) bersama.
Puan menegaskan, kasus kekerasan seksual yang semakin marak terjadi ini tidak boleh dinormalisasikan sebagai sesuatu yang wajar.
BACA JUGA:
Sikapi Kasus Pemerkosaan oleh Oknum Dokter PPDS Unpad, BPOM Revisi Aturan Obat Bius
“Banyaknya kasus pelecehan hingga pencabulan yang terjadi bukan berarti kekerasan seksual boleh dinormalisasi,” tegas Puan.
Puan meminta masyarakat tidak tinggal diam melihat maraknya kasus kekerasan seksual. Teruntuk wanita, ia meminta untuk berani berbicara jika menjadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual.
“Ini adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi, apalagi dilakukan oleh tenaga medis yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi rasa aman bagi pasien,” kata Puan.
“Tidak boleh ada toleransi terhadap praktik kejahatan seksual di fasilitas layanan kesehatan,” tegasnya.
(Kaje)