BANDUNG, SUAR MAHASIWA AWRDS — Raja Ampat di Papua Barat Daya adalah episentrum keanekaragaman hayati laut global, sering dijuluki sebagai “surga terakhir di bumi”. Ekosistemnya yang unik meliputi terumbu karang paling beragam di dunia, hutan mangrove, dan ribuan spesies endemik tidak hanya bernilai ekologis, tetapi juga menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, terutama melalui sektor pariwisata bahari dan perikanan tradisional.
Namun, kekayaan alam ini berada di bawah ancaman signifikan. Potensi cadangan nikel yang besar di kawasan ini menarik investasi industri pertambangan skala masif. Seperti yang diberitakan, tensi antara korporasi pertambangan (misalnya PT Gag Nikel) dan aliansi masyarakat sipil serta aktivis lingkungan telah mencapai puncaknya, yang berujung pada intervensi pemerintah untuk menangguhkan sementara aktivitas pertambangan (CNBC Indonesia, 2025). Kasus ini adalah cerminan dari dilema klasik: pembangunan ekonomi berbasis ekstraktif versus konservasi lingkungan dan keadilan sosial.
Penangguhan izin ini, meskipun merupakan kemenangan sementara bagi para advokat lingkungan, juga menyoroti kelemahan fundamental dalam sistem tata kelola sumber daya alam saat ini. Kerangka hukum positif yang ada sering kali terbukti tidak cukup kuat untuk melindungi ekosistem yang rapuh dan hak-hak masyarakat adat. Proses perizinan (IUP) sering kali bersifat teknokratis dan administratif, kurang mempertimbangkan dampak kumulatif jangka panjang dan keadilan substantif.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah paradigma baru yang lebih holistik. Maqashid al-Shariah menawarkan kerangka kerja etis dan filosofis yang superior untuk memandu tata kelola pertambangan di wilayah sensitif seperti Raja Ampat.
Maqashid al-Shariah adalah tujuan – tujuan universal dan fundamental di balik penetapan hukum Islam. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (maslahah) dan menolak kerusakan (mafsadah) di dunia dan akhirat. Secara tradisional, para ulama merumuskannya dalam lima tujuan pokok (al-Dharuriyyat al-Khamsah):
1. Hifz al-Din (Pemeliharaan Agama)
2. Hifz al-Nafs (Pemeliharaan Jiwa)
3. Hifz al-‘Aql (Pemeliharaan Akal)
4. Hifz al-Nasl (Pemeliharaan Keturunan)
5. Hifz al-Mal (Pemeliharaan Harta)
Dalam konteks tantangan modern, para cendekiawan Muslim kontemporer, seperti Yusuf al-Qaradawi dan lainnya, menegaskan bahwa Hifz al-Bi’ah (Pemeliharaan Lingkungan) adalah tujuan esensial keenam, atau setidaknya merupakan bagian tak terpisahkan dari kelima tujuan di atas. Lingkungan yang sehat adalah prasyarat untuk terpeliharanya jiwa, keturunan, dan harta. Paradigma ini didasarkan pada konsep khalifah fil ardh (manusia sebagai khalifah atau manajer di bumi) dan amanah (tanggung jawab kepercayaan) untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Integrasi Aspek Ekologi melalui Hifz al-Bi’ah
Pendekatan konvensional sering kali melihat lingkungan sebagai objek eksternal yang dapat dieksploitasi selama mematuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, AMDAL sering kali menjadi formalitas dan gagal menangkap kerusakan permanen pada ekosistem yang kompleks.
Dalam kerangka Hifz al-Bi’ah, perlindungan lingkungan adalah sebuah tujuan intrinsik, bukan sekadar syarat.
Yang pertama Prinsip Precautionary (Kehati-hatian), Jika sebuah proyek, seperti tambang nikel, berpotensi menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible damage) pada terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat, maka proyek tersebut harus dicegah sejak awal. Ini sejalan dengan kaidah fikih dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil manfaat). Manfaat ekonomi jangka pendek dari nikel tidak sebanding dengan kerusakan ekologis permanen.
Yang kedua Larangan Berbuat Kerusakan (La Dharar wa La Dhirar), Eksploitasi yang menghasilkan limbah tailing beracun, merusak Daerah Aliran Sungai (DAS), dan menghancurkan hutan adalah bentuk kerusakan nyata yang dilarang. Hifz al-Bi’ah menuntut teknologi nol-limbah atau model bisnis yang terbukti tidak merusak.
Integrasi Aspek Keadilan Sosial melalui Hifz al-Nafs dan Hifz al-Mal
Tata kelola pertambangan saat ini sering kali meminggirkan masyarakat lokal, yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan.
Yang Pertama Pemeliharaan Jiwa (Hifz al-Nafs), Ini tidak hanya berarti melindungi nyawa dari kecelakaan, tetapi juga melindungi kesehatan masyarakat dari polusi air dan udara, serta melindungi sumber-sumber kehidupan mereka. Ketika tambang merusak laut, ia secara langsung mengancam kehidupan nelayan dan operator pariwisata. Perlindungan jiwa menuntut jaminan bahwa kualitas hidup masyarakat tidak menurun, bahkan harus meningkat.
Yang kedua Pemeliharaan Harta (Hifz al-Mal): Konsep ini melindungi hak kepemilikan. Dalam konteks ini, “harta” mencakup tanah ulayat (hak komunal masyarakat adat) dan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Proses perizinan harus melibatkan persetujuan yang tulus dari masyarakat lokal (musyawarah), bukan sekadar konsultasi formal. Keadilan distributif juga menjadi kunci: jika ekstraksi terpaksa dilakukan, masyarakat lokal harus menjadi penerima manfaat utama, bukan hanya penonton atau korban.
Integrasi Aspek Kepastian Hukum Berbasis Keadilan
Kepastian hukum sering diartikan secara sempit sebagai kepemilikan izin yang sah. Namun, izin yang diperoleh melalui proses yang tidak transparan atau mengabaikan dampak sosio-ekologis menciptakan “ketidakpastian” konflik di kemudian hari, seperti yang terjadi di Raja Ampat.
Maqashid al-Shariah menawarkan landasan untuk kepastian hukum yang substantif:
Yang Pertama Hukum sebagai Alat Keadilan, Hukum tidak boleh menjadi stempel legitimasi bagi perusak lingkungan. Sebaliknya, regulasi pertambangan harus secara eksplisit bertujuan untuk menegakkan Hifz al-Bi’ah, Hifz al-Nafs, dan Hifz al-Mal.
Yang kedua Akuntabilitas dan Transparansi, Konsep amanah menuntut akuntabilitas penuh dari pemerintah sebagai pemberi izin dan korporasi sebagai pelaksana. Semua data dampak lingkungan dan perjanjian dengan masyarakat harus transparan.
Sanksi yang Tegas: Setiap pelanggaran yang menyebabkan kerusakan harus dikenai sanksi yang tidak hanya bersifat administratif (pencabutan izin), tetapi juga mencakup restorasi ekologis penuh dan ganti rugi yang adil bagi masyarakat terdampak.
Tata kelola pertambangan di Raja Ampat yang hanya bersandar pada hukum positif dan kalkulasi ekonomi terbukti rentan terhadap konflik dan berpotensi menghancurkan warisan alam yang tak ternilai. Maqashid al-Shariah menawarkan sebuah paradigma alternatif yang lebih unggul karena sifatnya yang holistik, integratif, dan berorientasi pada kemaslahatan jangka panjang.
Dengan menjadikan pemeliharaan lingkungan (Hifz al-Bi’ah), jiwa (Hifz al-Nafs), dan harta (Hifz al-Mal) sebagai tujuan utama, kerangka ini mampu menciptakan sistem tata kelola yang Proaktif secara Ekologis, Berkeadilan secara Sosial Kuat secara Hukum.
Penulis:
Mukhlis Amsori