CIANJUR, TEROPONGMEDIA.ID — Kuda Kosong atau Helaran Kuda Kosong merupakan salah satu tradisi budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun di wilayah Cianjur, Jawa Barat.
Pertunjukan yang kerap dianggap sebagai budaya asli daerah ini biasanya digelar setahun sekali, bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Kota Cianjur pada 12 Juli.
Tak jarang, pelaksanaannya juga diselaraskan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus.
Catatan Kuda Kosong dalam Babad Cikundul
Keberadaan tradisi Kuda Kosong tercatat dalam naskah kuno Babad Cikundul atau yang dalam versi lain dikenal sebagai Babad Menak Sunda.
Naskah ini menjadi bagian dari koleksi Perpustakaan Nasional RI dan telah diteliti oleh sejumlah ahli, termasuk Asep Saeful Azhar, Aditia Gunawan, dan Yukeu Yuliani M. (2023), serta Sigit Widyanto dkk. (1999) dalam karya berjudul Sejarah Cikundul.
Dalam Babad Cikundul, aspek metafisika Kuda Kosong dijelaskan pada bagian ke-35 dan 36. Disebutkan bahwa dalam setiap perayaan, kuda yang didandani dengan berbagai hiasan ini selalu menjadi pusat perhatian.
Masyarakat setempat meyakini bahwa kuda tersebut “ditunggangi” oleh leluhur mereka, yakni Eyang Surya Kancana, yang dianggap sebagai sosok spiritual penjaga tradisi.
Keyakinan ini menambah nuansa sakral dalam pelaksanaan helaran, sekaligus memperkaya makna filosofis di balik ritual budaya yang telah mengakar kuat di Cianjur ini.
BACA JUGA
Kampung Adat Miduana: Pesona Budaya Sunda Kuno di Cianjur dengan Usia Panjang
Kuda Renggong: Kesenian Unik dari Sumedang yang Harus Dilestarikan
Sejarah dan Makna Filosofis Kuda Kosong
Mengutip laman Budaya Indonesia, Tradisi Pawai Kuda Kosong di Cianjur berawal dari kisah penghormatan Raden Aria Wiratanudatar (Dalem Cianjur) kepada Raja Mataram pada abad ke-17.
Saat itu, sebagai bentuk kesetiaan, Cianjur mengirimkan upeti simbolis berupa tiga butir padi, lada, dan cabe rawit melalui adik Dalem Cianjur, Aria Natadimanggala.
Raja Mataram yang memahami makna filosofis di balik upeti sederhana itu membalas dengan hadiah keris, kuda kerajaan, dan pohon saparantu.
Kuda kerajaan itu dibawa pulang ke Cianjur dengan cara dituntun, bukan ditunggangi, sebagai bentuk penghormatan Aria Natadimanggala kepada kakaknya.
Inilah asal usul penamaan “Kuda Kosong” – kuda yang sengaja dibiarkan tanpa penunggang. Tradisi mengelilingkan kuda tersebut keliling kota kemudian berkembang menjadi simbol kebanggaan masyarakat Cianjur.
Tradisi ini sarat dengan nilai-nilai luhur: penghormatan kepada yang lebih tua, kearifan lokal dalam berdiplomasi, dan kesetiaan.
Namun dalam perkembangannya, Kuda Kosong sempat menuai kontroversi karena dikaitkan dengan kepercayaan mistis tentang Eyang Suryakencana yang diyakini menunggangi kuda secara gaib.
Pemerintah setempat kemudian menekankan aspek budaya murni tradisi ini, sehingga dapat terus dilestarikan.
Perlengkapan pawai yang digunakan tetap mempertahankan unsur tradisional: aksesoris kuda yang indah, payung kebesaran, serta pakaian prajurit pengawal upeti.
Melalui Kuda Kosong, Cianjur tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga nilai-nilai kepemimpinan bijaksana yang relevan hingga kini.
(Aak)