BANDUNG, TEROPOPNGMEDI.ID — Kepala Bidang Pelatihan, Produktivitas, Penempatan Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (P3TKT) Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Bandung Barat Dewi Andani sebut Bandung Barat menjadi salah satu kantung daerah yang memberangkatkan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal di Jawa Barat.
“Memang Bandung Barat menjadi salah satu kantung yang memberangkatkan PMI ilegal di Jawa Barat dengan jumlah yang banyak,” kata Dewi Andani di Bandung, mengutip Antara Minggu (15/6/2025).
Mengacu pada data Disnakertrans Kabupaten Bandung Barat (KBB), sepanjang tahun 2024 tercatat 77 laporan terkait kasus Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal. Sementara itu, selama periode Januari hingga Juni 2025, jumlah laporan serupa mencapai 17 kasus.
Ia juga mengungkapkan fenomena ini mencerminkan tingginya minat masyarakat Bandung Barat untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Namun sayangnya, minat tersebut belum diiringi dengan pemahaman yang memadai mengenai syarat dan ketentuan resmi.
Akibatnya, banyak dari mereka terjerumus dalam bujuk rayu oknum yang menawarkan jasa penyaluran tenaga kerja secara ilegal dan berangkat ke luar negeri melalui jalur tidak resmi.
“Animo untuk bekerja di luar negeri tinggi, tapi mereka belum paham mana yang resmi dan mana jalur calo atau ilegal. Ini layaknya fenomena gunung es, kami tidak memiliki data pasti, namun menurut aduan dari masyarakat, kasus PMI ilegal ini juga meningkat,” ujarnya.
Laporan terjadinya peningkatan terungkap semenjak Disnakertrans Bandung Barat melaksanakan road show yang berisi edukasi dan sosialisasi cara yang benar dan legal untuk bekerja di luar negeri pada 16 kecamatan.
“Hal itu juga jadi satu faktor dan poin tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah agar segera diperbaiki. Mereka kan tahunya jalur cepat, karena hari ini mereka juga dituntut oleh biaya hidup yang mendesak. Jadi ketika datang calo, mereka langsung mengambil tawaran yang instan tanpa mempertimbangkan risikonya kelak,” kata Dewi Andani.
Sejauh ini pihaknya baru bisa memberikan imbauan agar menggunakan jalur resmi yang dipastikan aman, mengingat belum adanya solusi nyata yang bisa dilakukan untuk memberikan jaminan pasti terhadap kebutuhan mereka, seperti pasti berangkat.
“Tapi kalau melalui jalur pemerintah telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mengatur persyaratan untuk menjadi PMI dan penempatan mereka di luar negeri. UU ini juga memberikan kejelasan tentang hak-hak PMI dan kewajiban negara dalam melindungi mereka,” katanya.
Ia menyampaikan jika melalui jalur resmi, pemerintah telah menyediakan perlindungan secara menyeluruh bagi calon PMI, mencakup tahap pra-keberangkatan, selama berada di negara tujuan, hingga proses kepulangan ke tanah air.
Ia menjelaskan ketentuan tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, yang mengatur berbagai aspek perlindungan bagi calon PMI, mulai dari kelengkapan administrasi keberangkatan, kewajiban adanya perjanjian kerja dan visa kerja, hingga jaminan perlindungan melalui BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Selain itu, lokasi penempatan kerja juga harus jelas agar proses pemantauan dapat dilakukan dengan mudah.
“Bahkan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan juga sudah menjadi tanggung jawab perusahaan yang memberangkatkan,” ucapnya.
Kemudian apabila perusahaan yang memberangkatkan melanggar dan tidak bertanggung jawab akan mendapat sanksi berat dari pemerintah.
Ia mengungkapkan jika menggunakan jasa calo, calon PMI memang bisa berangkat dalam waktu singkat, sekitar dua minggu. Namun, keberangkatan tersebut hanya menggunakan visa kunjungan yang berlaku selama tiga bulan, bukan visa kerja, sehingga tidak disertai dengan perjanjian kerja resmi.
Baca Juga:
Tim Gabungan Ringkus 3 Calo PMI Ilegal ke Qatar dan Arab Saudi
“Kalau yang berangkat secara ilegal enggak tahu pakai visa apa, karena asal berangkat ke luar negeri. Padahal rata-rata-rata visa kunjungan itu kedaluwarsanya hanya tiga bulan saja. Dan mereka over stay dan dikejar-kejar.
Ia mengatakan jika razia mereka langsung kena sanksi hukum dan dikirim ke penampungan.
“Kalau tidak dideportasi, mereka harus dipulangkan dengan biaya sendiri dan denda yang harus dibayar ke pemerintah penempatan karena over stay itu,” ucap Dewi Andani.
(Virdiya/_Usk)